Cerita
kali ini agak berbau SARA, namun saya berharap tidak ada satupun yang merasa
tersinggung dari kedua keyakinan yang berbeda tersebut. Apa yang saya tulis di
bawah ini adalah pengalaman dan pendapat pribadi yang bisa jadi berbeda dengan
orang lain.Terima kasih atas pengertiannya.
Suatu sore di akhir
pekan, seperti biasa saya menikmati secangkir Nescafe panas, memandangi hujan
dari balik jendela, romantis sekali.
Sebenarnya saya tidak sedang melamun, namun memikirkan teman saya. Dia datang
kepada saya dengan masalahnya yang cukup pelik, namun dia menjadi agak
‘sensitif’ dengan jawaban saya. Sahabat saya tadi sedang jatuh cinta dengan
seseorang, nggak ada yang aneh, toh setiap orang termasuk saya pernah jatuh
cinta, pernah menyukai dan disukai seseorang. Namun yang susah, dia ternyata
jatuh cinta dengan seseorang yang memiliki beda keyakinan dengannya. Ada yang
salah ? tanyanya pada saya. Tidak ada jawab saya, cinta tidak pernah salah,
yang salah mungkin tempat, waktu dan orangnya, tapi cinta juga misteri karena
kita ndak pernah bisa menyuruhnya agar berlaku sesuai dengan keinginan kita.
Maunya sih jatuh cinta dengan si A ,eh lha kok saya malah naksir si B begitu
seterusnya.
Lalu saya harus bagaimana ? tanyanya. Dia mengaku serba salah dalam situasi
semacam ini. Saya menjawab, "kamu pasti sudah tahu jawaban saya tentang
ini". Artinya sesuai keyakinan dan pengetahuan yang saya peroleh, saya
tidak menyetujui hubungannya dengan laki – laki yang berbeda keyakinan
dengannya. Sahabat saya nampak lesu seolah kurang darah.
"Teman", kata saya lagi" apa yang kamu sukai itu belum tentu
disukai Tuhan begitu juga apa yang di sukai Tuhan belum tentu kamu suka, apa
yang menurutmu baik belum tentu baik di mata Tuhan, dan seringkali apa yang
menurut Tuhan baik untukmu belum tentu kamu anggap baik, lalu untuk apa kamu
mengorbankan kehidupanmu sesudah kematian dengan sesuatu yang hanya berlangsung
sesaat ? Seperti menikmati keindahan bintang, lalu ketika bintang itu mati dan
padam yang akan kamu temui hanya kegelapan malam yang panjang".
"Kamu ngomong gitu kan karena ndak pernah mengalaminya", katanya sinis. Saya tertawa
kecil, justru karena saya pernah mengalaminya saya bisa menjawab pertanyaannya.
Teman saya terkejut tak menyangka, bagaimana mungkin orang seperti saya pernah
mengalami hal yang sama dengannya.
Saya tak keberatan membagi cerita saya dengannya. Bertahun yang lalu saya
mengalami apa yang teman saya rasakan. Sedih dan sakit rasanya ketika kita
mencintai seseorang namun tak bisa bersama karena perbedaan keyakinan. Cinta
yang bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan, namun yang lebih menyakitkan
lagi adalah ketika kita saling mencintai namun tidak bisa bersatu.
Namun pada akhirnya saya disadarkan bahwa cinta tak selalu mampu menyatukan
perbedaan, barangkali memang bisa sebuah cinta mampu menjembatani segala perbedaan,
namun saya berpikir bahwa hidup tidak hanya melulu soal cinta, ada kehidupan
lagi yang perlu kita jalani, ada tanggung jawab yang mesti kita pikul. Tanggung
jawab kepada Tuhan, keluarga dan anak - anak kita.
Lama saya berpikir tentang hubungan itu, karena saya juga tak mau hidup ini
berlalu tanpa ikatan yang jelas dengannya. Di mata saya dia adalah laki - laki
yang nyaris sempurna, dia begitu baik, pengertian, sabar, gentle, romantis,
benar - benar nyaris tanpa cela, dia adalah laki -laki idaman semua perempuan
di dunia. Bahkan pernah terbetik dalam hati saya barangkali kalau saya
menemukan satu saja kekurangan dia yang mampu membelokkan saya darinya. Tapi
kok saya rasa dia sempurna ( atau saya telah buta oleh cinta ? hingga tak bisa
melihat dia yang sebenarnya ).
Saya dan dia sama - sama memiliki keyakinan yang kuat yang tak mungkin kami
lepas begitu saja, saya juga tak mungkin hidup bersamanya dalam ikatan
pernikahan dengan segala perbedaan tersebut. Mampukah saya hidup bersamanya ?
Ditengah kegalauan saya, ternyata Tuhan menjawab keresahan jiwa saya. Suatu
hari tiba - tiba saya ingin mampir ke tempat tinggal dia, dia sedang menjalani
pendidikan S2nya dan tinggal terpisah dengan keluarganya. Saya kaget sekali
menemukan dia dan beberapa botol minuman beralkohol di kamarnya, dia yang
sedang nampak kusut itu juga kaget melihat saya yang tiba - tiba datang. Saya
tanya padanya, apa yang dia lakukan ? Dia bilang melakukan itu semua, meminum
minuman beralkohol untuk mencari jawaban yang terbaik untuk kami. Saya kecewa
sekali padanya karena selama ini saya telah jatuh bangun di sepertiga malam
dalam doa dan sholat saya untuk mencari jawaban itu, namun dia justru melakukan
hal tersebut, saya pernah membayangkan bahwa dia akan bersujud di altar memohon
yang terbaik. Saya berlari meninggalkannya sendiri.
Saya memang selama ini bertoleransi dengan kebiasaan - kebiasaan dia minum
alkohol karena saya tahu keyakinannya tidak melarang hal tersebut. Namun detik
yang sama ketika saya berlari meninggalkan dirinya, saya menyadari sesuatu.
Bahwa saya memang tak akan pernah bisa hidup bersamanya. Terkuaklah segala
kekurangan dia yang selama ini tak mau saya akui. Bagaimana mungkin dia akan
menjadi ayah dari anak - anak saya dengan nilai - nilai yang berbeda dengan
saya ? Bagaimana mungkin saya hidup dengannya sementara saya mengharamkan
minuman yang memabukkan yang kerap dia minum dalam banyak kesempatan, bagaimana
mungkin saya bisa mencintai seseorang yang menghalalkan hubungan di luar ikatan
pernikahan yang resmi.
Butuh waktu cukup lama buat saya untuk melupakan dirinya. Saya harus memendam
perasaan saya yang terdalam dan menekan ego saya. Kalau saya mau, saya mungkin
akan menikah dengannya lalu kami bisa hidup bersama dengan bahagia. Itu kalau
hanya ada saya dan dia. Bagaimana pertanggungjawaban saya kepada Tuhan apabila
anak - anak saya mengikuti jejak ayahnya ? Bagaimana dengan keluarga saya ?
Saya tidak bisa berpura -pura melupakan keluarga, karena bila terjadi apa -
apa, keluarga adalah tempat kita kembali.
Karena itu saya tak sepenuhnya meyakini bahwa cinta mampu menjembatani segala
perbedaan, ada saat - saat ketika kita harus berpegang teguh kembali kepada
keyakinan kita, pengetahuan kita, melebihi kebutuhan kita akan cinta. Saya
hanya takut bahwa Tuhan tak lagi mencintai saya. Apalah artinya bahagia di
dunia namun sengsara di kehidupan sesudah kematian ?
Teman saya tak pernah bisa menerima pendapat saya, karena dia menunjuk beberapa
pasangan yang mampu hidup bahagia hingga maut memisahkan. Saya berbalik
bertanya kepadanya, apakah anda adalah seseorang yang memiliki kapasitas untuk
bertahan dari serbuan gelombang terus menerus ? Karena tidak sedikit saya
mendengar pasangan berbeda keyakinan yang akhirnya kandas dan menyisakan luka
yang terlalu dalam. Apakah anda siap dipisahkan dari anak - anak anda ?