Ini kisah
seorang buruh di sebuah pabrik, mengawali karirnya. Dengan gaji awal Cuma 900
ribu, terbilang sangat murah untuk lulusan S1 seperti dirinya, saat itu tahun
2002. Namun hidup seperti tidak memberikan pilihan lain padanya. Kondisi krisis
ekonomi pasca reformasi tahun 1998 masih menyisakan gelombang tsunami. Maka
dengan berbekal ijasah S1nya, dia mendapatkan pekerjaan administrasi.
Tidak
hanya mendapat gaji kecil, namun juga di bully senior-seniornya, karena mereka
melihat potensi dalam dirinya. Buruh satu ini suka membaca dan suka sekali
belajar. Dengan bahasa Inggris seadanya, dia mencoba berkomunikasi dengan
beberapa ekspartriat di tempatnya bekerja. Beruntung kemudian perusahaan
tempatnya bekerja menyelenggarakan les bahasa Inggris gratis untuk semua pekerjanya,
tanpa ragu diapun ikut belajar. Hanya 1 jam seminggu, gratis pula.
Ada
kisah haru di balik gaji 900 ribunya. Dengan gaji segitu, dia mencicil rumah
sebesar 250 ribu setiap bulan selama 10 tahun, beruntung ketika warisan kedua orang
tuanya dibagi dan dia hanya mendapat sedikit, cukup untuk membayar DP sebuah
rumah type 36. `Tak apalah bila aku sedikit berpuasa di usia muda, asal di masa
tua nanti aku sudah punya rumah`, begitu katanya sederhana, teman-temannya
menyarankannya untuk membeli motor baru, menggantikan motor lamanya, namun dia
tak bergeming.
Setiap hari Yamaha Alfa butut itu selalu mengantarnya kemanapun
dia pergi. Sisa sebesar 650 ribu dia pakai untuk biaya hidup sehari-hari. Makan
siang disediakan pabrik tempatnya bekerja, walau sering tak mengundang selera,
dia tetap bersabar,`masih untung aku bisa makan gratis, meski hanya sekali
sehari`. Makan malam dan sarapan seadanya saja. Karena dia hobi membaca, maka
dia berusaha menyisihkan sedikit uang untuk budget membeli buku tiap bulan.
Bila sedang tak bisa menyisakan sedikit uang untuk membeli buku, dia biasanya
`berburu` Koran bekas di kantor. Para Boss sering mengumpulkan Koran bekas
untuk dibakar atau diberikan begitu saja bagi yang memerlukan. Biasanya setiap
minggu ada saja Koran, entah itu Jakarta Post,Kompas atau Jawa Pos yang
dibawanya pulang untuk dijadikan kliping. Para sekretaris biasanya senang saja,
hitung-hitung membantu membersihkan ruangan Boss.
Suatu
hari, dia menggunting gambar sebuah laptop, ditempelkannya di dinding kamar.
`aku ingin punya laptop, agar tak selalu pergi ke rental atau warnet untuk
menulis.` tak sedikit yang mentertawakan impiannya.
`aku
tak pernah resah bila orang-orang mentertawakan mimpi-mimpiku, karena aku
percaya, Tuhan, Sang Maha Pengabul Impian telah mencatatnya dan Dia berjanji
akan mengabulkannya.
Suatu
hari di tahun 2003, perusahaan tempatnya bekerja menandatangani sebuah MOU
dengan Salah satu produsen sepatu terkenal di Jepang. Saat itu atasannya,
seorang ekspartriat asal Eropa memanggilnya memasuki ruangan meeting yang
terkesan menegangkan. Beberapa kali si interpreter tampak mengusap keringat
padahal AC sangat dingin. Ternyata hari itu adalah hari keberuntungannya. Si
boss memutuskan untuk memberinya `beasiswa` training ke Jepang selama 2 minggu,
setelah ditanda tanganinya MOU itu. Hampir-hampir tak percaya dirinya, mengapa
dia yang terpilih dari sekian banyak senior di sana.
Mei
2003, adalah perjalanan pertamanya ke luar negeri. Tidak hanya training dan
belajar banyak hal di sana. Impiannya memiliki laptop pun terkabulkan. Pertemuannya
dengan seorang mahasiwa S2 asal Indonesia yang membantunya mencarikan laptop
bekas sesuai budget yang dia punya. Di sana, selain mendapat training teknis
dan procedure pembuatan sepatu di perusahaan Jepang, dia juga melakukan market
research yang dibimbing oleh sales team. Ketika kembali tanah air, atasannya
dengan gaya bercanda berkata,`lihat nih, hasil training dan belajar kamu bisa
jadi sebuah buku`, sambil menunjukkan report hasil training. Bentuknya memang
mirip buku yang dijilid.
Tahun
2004, sekali lagi perusahaan mengirimnya ke Jepang, tidak lagi dalam rangka
training, namun sudah mewakili perusahaan dalam meeting development.
Kalau
ada yang berkata ` enak, kamu ya, dapat kesempatan langka pergi ke luar negeri,
dekat dengan para ekspratriat dan sebagainya..`, dia hanya menjawab
kalem..`Bila kesempatan itu tidak kunjung datang padamu, carilah. Bila kemauan
dan kerja keras ada dalam dirimu, kesempatan dan keberuntungan akan kamu dapat.
Jangan mau jadi buruh rata-rata yang akan tergilas persaingan, kamu tidak akan
menjadi siapa-siapa bila kamu tak mau berbuat apapun untuk mengubahnya. Teman, semua akan indah pada saatnya.`
Baginya,
ini adalah jawaban dari Tuhan atas doa-doanya, atas kesabarannya menghadapi
bullying para senior, atas keteguhan dan kemauannya untuk selalu belajar dan
bekerja keras. Walau terkadang dia tak tahan dengan bullying dan pernah
menangis di toilet, namun secepat itu dia bangkit, tersenyum dan bekerja
seperti biasa. Hingga salah seorang ekspratriat berkenan memberikan waktunya
secara khusus membimbingnya.
Kini
sebagai assisten development planning, dia telah memetik hasil kerja kerasnya
selama 10 tahun. Walau Jepang tak lagi melanjutkan MOUnya, namun atasannya
telah memberikan pekerjaan yang lebih baik, development planner untuk unit
Eropa dan sebagian Asia.
Laptop
lamanya telah berganti netbook mungil, teman menulis dan berinteraksi di dunia
cyber. Yamaha Alfa bututnya berganti Honda Beat terbaru, dan cicilan rumahnya
telah lunas. Tak pernah ia lupakan impiannya yang lain, menjadi penulis.
Gelar buruh tak pernah akan menyurutkan impiannya. Karena ia yakin seperti halnya manusia lain, dia berhak untuk berhasil.