Wednesday, February 26, 2014

Buruh juga boleh pintar, jangan mau jadi buruh rata-rata..

Ini kisah seorang buruh di sebuah pabrik, mengawali karirnya. Dengan gaji awal Cuma 900 ribu, terbilang sangat murah untuk lulusan S1 seperti dirinya, saat itu tahun 2002. Namun hidup seperti tidak memberikan pilihan lain padanya. Kondisi krisis ekonomi pasca reformasi tahun 1998 masih menyisakan gelombang tsunami. Maka dengan berbekal ijasah S1nya, dia mendapatkan pekerjaan administrasi.

Tidak hanya mendapat gaji kecil, namun juga di bully senior-seniornya, karena mereka melihat potensi dalam dirinya. Buruh satu ini suka membaca dan suka sekali belajar. Dengan bahasa Inggris seadanya, dia mencoba berkomunikasi dengan beberapa ekspartriat di tempatnya bekerja. Beruntung kemudian perusahaan tempatnya bekerja menyelenggarakan les bahasa Inggris gratis untuk semua pekerjanya, tanpa ragu diapun ikut belajar. Hanya 1 jam seminggu, gratis pula.

Ada kisah haru di balik gaji 900 ribunya. Dengan gaji segitu, dia mencicil rumah sebesar 250 ribu setiap bulan selama 10 tahun, beruntung ketika warisan kedua orang tuanya dibagi dan dia hanya mendapat sedikit, cukup untuk membayar DP sebuah rumah type 36. `Tak apalah bila aku sedikit berpuasa di usia muda, asal di masa tua nanti aku sudah punya rumah`, begitu katanya sederhana, teman-temannya menyarankannya untuk membeli motor baru, menggantikan motor lamanya, namun dia tak bergeming. 

Setiap hari Yamaha Alfa butut itu selalu mengantarnya kemanapun dia pergi. Sisa sebesar 650 ribu dia pakai untuk biaya hidup sehari-hari. Makan siang disediakan pabrik tempatnya bekerja, walau sering tak mengundang selera, dia tetap bersabar,`masih untung aku bisa makan gratis, meski hanya sekali sehari`. Makan malam dan sarapan seadanya saja. Karena dia hobi membaca, maka dia berusaha menyisihkan sedikit uang untuk budget membeli buku tiap bulan. Bila sedang tak bisa menyisakan sedikit uang untuk membeli buku, dia biasanya `berburu` Koran bekas di kantor. Para Boss sering mengumpulkan Koran bekas untuk dibakar atau diberikan begitu saja bagi yang memerlukan. Biasanya setiap minggu ada saja Koran, entah itu Jakarta Post,Kompas atau Jawa Pos yang dibawanya pulang untuk dijadikan kliping. Para sekretaris biasanya senang saja, hitung-hitung membantu membersihkan ruangan Boss.

Suatu hari, dia menggunting gambar sebuah laptop, ditempelkannya di dinding kamar. `aku ingin punya laptop, agar tak selalu pergi ke rental atau warnet untuk menulis.` tak sedikit yang mentertawakan impiannya.
`aku tak pernah resah bila orang-orang mentertawakan mimpi-mimpiku, karena aku percaya, Tuhan, Sang Maha Pengabul Impian telah mencatatnya dan Dia berjanji akan mengabulkannya. 
Suatu hari di tahun 2003, perusahaan tempatnya bekerja menandatangani sebuah MOU dengan Salah satu produsen sepatu terkenal di Jepang. Saat itu atasannya, seorang ekspartriat asal Eropa memanggilnya memasuki ruangan meeting yang terkesan menegangkan. Beberapa kali si interpreter tampak mengusap keringat padahal AC sangat dingin. Ternyata hari itu adalah hari keberuntungannya. Si boss memutuskan untuk memberinya `beasiswa` training ke Jepang selama 2 minggu, setelah ditanda tanganinya MOU itu. Hampir-hampir tak percaya dirinya, mengapa dia yang terpilih dari sekian banyak senior di sana.
Mei 2003, adalah perjalanan pertamanya ke luar negeri. Tidak hanya training dan belajar banyak hal di sana. Impiannya memiliki laptop pun terkabulkan. Pertemuannya dengan seorang mahasiwa S2 asal Indonesia yang membantunya mencarikan laptop bekas sesuai budget yang dia punya. Di sana, selain mendapat training teknis dan procedure pembuatan sepatu di perusahaan Jepang, dia juga melakukan market research yang dibimbing oleh sales team. Ketika kembali tanah air, atasannya dengan gaya bercanda berkata,`lihat nih, hasil training dan belajar kamu bisa jadi sebuah buku`, sambil menunjukkan report hasil training. Bentuknya memang mirip buku yang dijilid.
Tahun 2004, sekali lagi perusahaan mengirimnya ke Jepang, tidak lagi dalam rangka training, namun sudah mewakili perusahaan dalam meeting development.

Kalau ada yang berkata ` enak, kamu ya, dapat kesempatan langka pergi ke luar negeri, dekat dengan para ekspratriat dan sebagainya..`, dia hanya menjawab kalem..`Bila kesempatan itu tidak kunjung datang padamu, carilah. Bila kemauan dan kerja keras ada dalam dirimu, kesempatan dan keberuntungan akan kamu dapat. Jangan mau jadi buruh rata-rata yang akan tergilas persaingan, kamu tidak akan menjadi siapa-siapa bila kamu tak mau berbuat apapun untuk mengubahnya.  Teman, semua akan indah pada saatnya.`

Baginya, ini adalah jawaban dari Tuhan atas doa-doanya, atas kesabarannya menghadapi bullying para senior, atas keteguhan dan kemauannya untuk selalu belajar dan bekerja keras. Walau terkadang dia tak tahan dengan bullying dan pernah menangis di toilet, namun secepat itu dia bangkit, tersenyum dan bekerja seperti biasa. Hingga salah seorang ekspratriat berkenan memberikan waktunya secara khusus membimbingnya.
Kini sebagai assisten development planning, dia telah memetik hasil kerja kerasnya selama 10 tahun. Walau Jepang tak lagi melanjutkan MOUnya, namun atasannya telah memberikan pekerjaan yang lebih baik, development planner untuk unit Eropa dan sebagian Asia.


Laptop lamanya telah berganti netbook mungil, teman menulis dan berinteraksi di dunia cyber. Yamaha Alfa bututnya berganti Honda Beat terbaru, dan cicilan rumahnya telah lunas. Tak pernah ia lupakan impiannya yang lain, menjadi penulis. 

Gelar buruh tak pernah akan menyurutkan impiannya. Karena ia yakin seperti halnya manusia lain, dia berhak untuk berhasil.

Cerpen ; Perempuan kedua

Nenekku tak bisa membaca, juga menulis. Tapi dia mengeja hidupnya sebaris demi sebaris. Menghayati setiap kesulitan hidup sebagai pelajaran untuk kemudian diajarkan kembali kepada kami, anak cucunya.
“Sejarah akan selalu terulang, anak-anak,..karena itu sebisa mungkin belajarlah dari pengalaman orang lain”. Kebijakan sederhana dari seorang perempuan buta huruf namun sangat bersungguh-sungguh dalam memaknai hidup.
Menikmati sekecil apapun kegembiraan sebagai pelipur lara dikala duka. Bahwa syukur adalah bentuk kebahagiaan yang tak bisa dibeli. Karena syukur adalah masalah hati. Ketika hatimu bisa menerima keadaanmu, saat itulah kamu sedang berbahagia.
Nenekku sendirian menghidupi 6 orang anak, karena suami yang pergi meninggalkannya demi perempuan lain.
“Aku mungkin bisa memaafkan, namun tidak melupakan”, kata nenek.
Kesusahan hidup tak membuatnya menyerah. Semasa gadis dia hidup di jaman penjajahan Jepang. Nenekku tahu kapan harus bersembunyi dari jarahan tentara Jepang yang tak hanya menjarah harta benda namun juga kehormatan. Satu demi satu temannya dijadikan jugun ianfu yang laki-laki dirampas untuk dijadikan kuli tanpa dibayar. Hanya dia dan beberapa teman perempuan yang selamat hingga masa penjajahan Jepang berakhir. Hingga akhirnya Jepang bertekuk lutut setelah bom atom yang dijatuhkan tentara Amerika menghancurkan dua kota besar, Hiroshima dan Nagasaki.
              Nenekku menikah dengan seorang laki-laki buruh petani, dan memiliki 6 orang anak. Ibuku adalah satu-satunya anak perempuan. Untuk membantu menambah penghasilan suami, nenekku bekerja sebagai buruh pemipil jagung. Sen demi sen dikumpulkannya, sebagian ditabung agar bila ada keperluan mendadak nenek tak perlu menunggu penghasilan dari suami. Sikap gemi sethithi nya ternyata ada gunanya. Ketika suatu saat dia memergoki sang suami memiliki perempuan lain dan meninggalkannya. Penghasilan mungkin berkurang karena kakek tak lagi memberikan uangnya untuk nenek. Namun Tuhan selalu bersama kami. Selalu ada saja pekerjaan yang membutuhkan tenaga nenek hingga dia memiliki cukup uang untuk menghidupi ke enam orang anaknya. Meski mereka hanya berbekal pendidikan sekolah rakyat, namun cukup berhasil menjalani hidup. Ibuku menikah muda dengan seorang pegawai walau hanya berstatus sebagai istri kedua. Meski setelah itu istri pertama dari ayah memilih untuk bercerai.
Dengan bantuan suaminya, paman-pamanku beroleh pekerjaan di kantor kabupaten. Salah seorang pamanku memilih merantau ke Jakarta.
              Ibuku meninggal setelah setahun meninggalnya ayah dan aku diasuh oleh nenek bersama kakakku.
Nenek yang tak bisa membaca dan menulis namun memahami aku. Ketika aku bersedih karena teman-teman menjauhiku, nenek selalu berupaya agar aku tetap tegar. Dia mengajariku tentang hidup dengan kisah-kisahnya di masa muda dulu.
              “Terima lah nasibmu sebagai yatim piatu, namun jangan menyerah karena hinaan orang. Mereka tak tahu betapa istimewanya kamu”. Demikian nenekku selalu menghiburku. Disuruhnya aku membaca banyak buku agar aku bisa melupakan kegalauan hatiku. Saat itulah aku mulai menulis buku harianku karena tak tega melihat nenek ikut bersedih dengan cerita-ceritaku.
              “Jadilah perempuan yang tegar, kuat, tak mudah menyerah namun tetap lembut. Seorang perempuan harus mandiri meski punya suami kaya dan baik hati. Karena kita tak pernah tahu kapan cinta bisa terbagi. Kalaupun kamu rela berbagi dengan perempuan lain, kamu tak akan menyusahkan banyak orang kalau ternyata suatu hari nanti kamu memilih untuk sendiri”.
              Kakakku memilih untuk bekerja setelah lulus STM, Nenek menyuruhku melanjutkan hingga kuliah meski untuk itu dia harus berjuang membesarkanku, ayah mewariskan rumah yang agak besar hingga bisa kami sekat-sekat menjadi kamar kos yang bisa kami sewakan. Dengan uang sewa itulah, aku, kakak dan nenek bertahan hidup. Sebagian dibantu oleh kakak-kakak ibu yang telah bekerja dan berkeluarga. Beruntung semasa kuliah aku mendapatkan beasiswa dan mulai kerja sambilan sepulang kuliah.
              Seperti yang pernah nenek katakan, bahwa hidup yang keras membuat kita tegar. Bila kita keras pada kehidupan maka kehidupan akan melunak demikian pula sebaliknya.
Bila banyak teman di masa muda berleha-leha, belajar dan bersenang-senang, aku rela mengetik hingga dini hari, bekerja di sebuah rental komputer dan warnet demi melanjutkan kuliah. Aku bahkan tak ada waktu terlalu dekat dengan teman laki-laki. Mereka hanya kukenal sepintas lalu di kampus, di tempat rental karena mereka puas dengan hasil kerjaku atau di majlis taklim tempatku menimba ilmu agama di sela jadwal padat kuliah dan bekerja. Kalaupun ada satu yang istimewa dia hanya kuhubungi via surat, seorang sahabat pena yang kelak ternyata menjadi pasangan hidupku selamanya. Padanya kuceritakan segala kisahku dan betapa aku merasa tersanjung karena dia menyebutku perempuan tangguh.
              Kini nenek telah tiada. Namun semangat hidupnya selalu ku kenang. Ajarannya agar aku mandiri dan tak menyusahkan orang lain selalu kupegang teguh. Sesulit apapun tak boleh menghentikan aku berjuang meraih apa yang kuimpikan.
              Selama hidup yang kuceritakan dalam buku harianku, 2 perempuan yang menginspirasi aku, nenek dan ibuku. Keduanya adalah perempuan tangguh yang tak serta merta menjadi cengeng ketika cintanya diduakan. Poligami adalah pilihan yang tak bisa mereka elakkan. Namun meratapi dan menyerah bukanlah pilihan. Ada anak-anak yang membutuhkannya untuk menjadi tegar, kuat dan mandiri. Nenek, walau tak bisa melupakan dan memaafkan kakek, tetap menerima kedatangannya ketika memohon maaf di usia tuanya dan tak lama kemudian meninggal dunia di rumah istri keduanya. Ibuku terpaksa menerima pinangan pegawai yang telah beristri dan memiliki anak, demi membantu adik-adiknya agar bisa hidup layak dan bersekolah. Selalu ada yang dikorbankan demi kebahagiaan orang yang kita cintai, kata ibuku. Hidup ini janganlah terlalu egois dengan hanya memikirkan kebahagiaan diri sendiri. Ini bukan salah ibu yang kemudian membuat istri pertama ayah meminta cerai. Ayahmu yang tak memperkirakan perasaan istri pertama, walau awalnya bisa menerima ibu namun sebagai perempuan dan merasa menjadi yang pertama tak pernah bisa menahan gejolak cemburu karena diduakan. Padahal seluruh gaji ayah untuk istri pertama, ibu mendapatkan penghasilan dari peternakan ayah yang sengaja diberikan ayah kepada ibu dan kakak-kakaknya untuk di kelola.
             Ini adalah pelajaran hidup yang sangat berharga untukku. Sebagai perempuan dan kini aku telah berkeluarga. Segala hal yang baik dan buruk bisa terjadi. Dan dalam hidup ini selalu ada pilihan-pilihan. Terima kasih untuk nenek dan ibu, guruku yang telah mengajariku tentang kehidupan lewat kisah-kisahnya yang kutulis dalam buku harianku.