Ini cerita tentang warung kopi milik kakakku. Selepas
SMA, kakakku tak berminat melanjutkan kuliah atau bekerja sebagai buruh. Dan
membuka warung kopi di rumah adalah pilihannya, alasannya karena dia hobi ngopi
dan teman-temannya banyak. Bisnis dan hobi, not so bad laahh..Okelah kalo
begitu. Sedangkan aku, dipaksanya kuliah. Maka tahun pertama adalah tahun
perjuangan, belajar sekeras mungkin agar dapat beasiswa dan mengajar les privat
anak SD sepulang kuliah, tahun ke dua setelah dapat beasiswa bebanku agak
ringan, terutama setelah dapat tambahan pekerjaan di rental komputer dan
wartel. Tak ada waktu untuk kongkow-kongkow dengan teman ( walau pernah sempat
kabur ke Jogja hehehe ). Satu-satunya waktu yang kunikmati adalah di warung
kopi kakak. Dia selalu melarangku membantunya. Selain karena kuatir mengganggu
kuliah, juga agak tabu seorang cewek ada di sana. Tapi untungnya, pelanggan
warung kopi kakak semuanya baik dan tak pernah usil. Sebagian kukenal sebagai
buruh pabrik rotan yang ada di dekat rumah, lainnya adalah kuli pasar dan
beberapa teman SMA kakak yang sering main ke rumah,dulunya.
Ada hal yang sebenarnya menarik perhatianku di warung
kopi itu. Karena kakakku sangat hafal campuran kopi dan gula untuk
masing-masing pelanggannya. Si A berapa takaran kopinya dan berapa sendok
gulanya, beda dengan si B dan si C. Aku termangu dan akhirnya bertanya padanya,
"bagaimana cara menghafalnya?". Kakakku tertawa dan menjawab
"don`t think, feel, you fool!" Disuruhnya aku merasa tanpa
berpikir. Makanya serasa de ja vu kalau ada yang bilang don`t think, feel :-).
Dan aneh memang, walau aku sudah mengikuti takaran yang kakak ajarkan, tapi
kata si A, kopinya masih kurang, kemanisan karena kebanyakan gula.
Weleh...Susah amat bikin kopi.
Diajarinya aku membaui aroma kopi robusta dan arabica.
Dan kakakku lebih suka menggiling kopi sendiri, bukan kopi instan.
Kadang-kadang ada stok kopi instan untuk beberapa pelanggannya yang lambung dan
ususnya bermasalah dengan kopi `beneran`.
Karena aku suka baca, kadang-kadang buku yng kupunya
kutinggalkan di rumah kakak. Dan kami pun sepakat patungan untuk berlangganan
koran. Banyak yang betah nongkrong di sana, ngopi sambil baca koran, kata
beberapa buruh disana setengah becanda "serasa kayak bos di kantor
hehehe". Kadang-kadang aku ngobrol dengan mereka sebentar sebelum
"diusir" kakak.
Musim bola adalah berkah, pengunjungnya makin ramai,
termasuk waktu menjelang dan selama pemilu. Warung kopi kakakku kerap di
booking caleg tertentu, semua orang yang dateng di traktir dan di sanalah para
caleg itu "jualan" program, misi dan visi partainya. Para buruh dan
kuli itu manggut-manggut saja, dan ketika si caleg pergi setelah membayar semua
kopi mereka, mereka ketawa terbahak-bahak...bodo amat sama partai yang penting
hepi..hihihihi.
Sampai aku lulus kuliah dan akhirnya bekerja, kakak masih
tekun dengan warung kopinya dan berniat memperluas bangunannya. Namun, sayang,
Tuhan berkehendak lain. Tahun 2012, kakakku meninggal dunia karena sakit.
Padahal kurang beberapa bulan lagi dia menikah dengan perempuan pujaannya.
Warung dan rumahnya kuhibahkan kepada suami istri
penjual nasi agar dirawat. Dan setiap kali aku melewati bangunannya yang
terawat, aku selalu merasa kakakku masih ada di sana dengan tawa dan candanya
yang khas, denting gelas dan obrolan pelanggannya tentang bola, politik atau
sekedar ngerumpi.