Membaca judul dari buku ini,
saya sudah mengira-ngira, pasti akan berisi sesuatu hal tentang Jepang yang
belum pernah kita duga sebelumnya. Yang luar biasa dan belum pernah kita
dengar. Ketujuh sisi unik kultur Jepang tersebut terbagi ke dalam 7 bab yakni
tentang pandangan religi masyarakat Jepang, melihat Jepang dari tutur
bahasanya, melihat Jepang dari generasi ke generasi, memahami alur pikir orang
Jepang, tindak tanduk orang Jepang, pranata masyarakat Jepang dan melihat sisi
luar manusia Jepang.
Selama ini
Jepang telah dikenal dengan budayanya yang santun, tertib dan serba teratur. Kedisiplinan
tersebut ternyata telah memang diajarkan sejak kecil. Anak-anak telah
dibiasakan hidup berdampingan secara harmonis dengan alam sehingga kelak ketika
dia dewasa dia tidak hanya menghargai alam sekitarnya namun juga mengajarkannya
kepada anak cucu.
Menurut saya
orang Jepang itu unik. Berbagai paradoks atau nilai-nilai yang ada kadang
berbenturan namun anehnya mereka dapat hidup dengan damai dan tentram. Asal
saya tidak merepotkan orang lain, tidak mengganggu alam sekitarnya, tidak
melanggar norma dan aturan moral itu sudah cukup.
Orang asing
yang bertemu orang Jepang pasti pernah bertanya, sebenarnya apa agama
mereka? Pertanyaan ini mungkin bagi
orang Indonesia atau asing selain Jepang mungkin akan dengan mudah dijawab,
namun bagi orang Jepang pertanyaan ini sudah menyinggung área pribadi mereka.
Kenapa? Karena ternyata satu orang Jepang dapat memiliki berbagai keyakinan.
Mereka lahir dengan upacara Shinto hingga beranjak dewasa, hal ini dapat
terlihat dari berbagai upadara adat seperti shichi
go san dan lain-lain. Namun saat menikah mereka kebanyakan memilih menikah
di gereja dan saat meninggal dunia dimakamkan secara Budha. Pemerintahnya pun
konon tidak mencampuri urusan agama warga negaranya, hal ini tentu saja berbeda
dengan Indonesia. Perihal ini dijelaskan dengan baik dalam bab tentang
pandangan religi masyarakat Jepang.
Nah, jadi
apa agama mereka sebenarnya? Ternyata menurut penulis buku ini, meski memiliki
kepercayaan yang beragam namun pada dasarnya setiap orang Jepang tetap percaya
ada sesuatu di luar dirinya. Termasuk kepercayaan ada dewa-dewi penjaga toilet
sehingga bila orang tersebut ingin menjadi dewa dan dewi yang cantik harus
rajin membersihkan toilet di rumah atau dimana saja. Ternyata orang jepang
menemukan tuhannya di toilet. Lewat kebiasaan setiap tahun baru dimana orang
tua perempuan tertua akan membersihkan toilet
dengan harapan jika tempat yang kotor dan kasat mata saja kita rajin
membersihkan, maka tempat yang tak kasat mata pun akan bersih dengan
sendirinya.
Di halaman
pertama kita akan disuguhkan dengan artikel menarik tentang Kuil Tagata yang
penuh dengan patung alat kelamin pria. Kuil ini terletak di kota Komaki sebelah
utara Nagoya. Tidak hanya patung kelamin pria di dalam kuil namun pagarnya juga
terbuat dari batu dengan bentuk yang sama. Kuil ini juga sering digunakan
sebagai tempat berlangsungnya upacara shichi
go san yaitu upacara pemberkatan bagi anak-anak berusia 7, 5 dan 3 tahun.
Meski melihat patung berbentuk kelamin pria, namun anak-anak Jepang tersebut
tidak nampak heran atau risih. Bahkan sekali dalam setahun patung-patung
tersebut dibopong oleh seorang wanita dewasa dan pengunjung dapat menyentuh
atau mengelusnya dengan harapan agar dapat memiliki momongan dan bahagia dalam
kehidupan seksualnya. Menurut mereka alat kelamin dianggap sebagai salah satu
sumber kebahagiaan dan dapat dijadikan
media untuk memanjatkan pengharapan dan rasa syukur. Tentu hal ini akan sangat
aneh bagi orang asing terutama orang Indonesia yang melihatnya karena kelamin
adalah bagian dari aurat yang seharusnya ditutupi, namun di Jepang patung
kelamin tersebut malah dibiarkan terbuka dan bahkan kita boleh menyentuhnya.
Pada
halaman-halaman berikutnya kita akan disuguhkan artikel tentang kualitas anak
muda Jepang yang semakin menurun menurut seorang sopir taksi yang tengah ngobrol dengan penulis, seperti curahan
hati dan keresahan generasi tua melihat generasi penerusnya yang cenderung
santai saat belajar di perguruan tinggi. Ini disebabkan oleh system pendidikan
di Jepang yang menuntut kerja keras siswa saat di sekolah mulai TK, SD hingga
tingkat lanjutan atas sehingga ketika memasuki perguruan tinggi mereka
cenderung santai, bahkan sempat diungkapkan oleh sopir taksi tersebut bahwa
mencari anak muda berkualitas di Jepang sulitnya seperti mencari jarum di
tumpukan jerami. Ini tentu hal yang mengejutkan karena selama ini kita yang
berada di luar Jepang menganggap bahwa bangsa Jepang sangat pandai dan
terpelajar, ratusan bahkan ribuan penemuan yang inovatif dan kreatif yang dapat
menunjang dan mempermudah hidup mereka kerap ditemukan oleh warga Jepang
sendiri.
Di artikel
berikutnya juga disampaikan tentang pengangguran elit, yaitu mahasiswa Jepang
yang sengaja tidak meluluskan diri karena belum menemukan pekerjaan yang tepat
dari perusahaan bonafid yang diinginkannya. Rupanya di Jepang, pada saat
mahasiswa tingkat 4 sudah mulai mendaftar ke berbagai perusahaan, dan yang
belum menemukan atau diterima di perusahaan yang diinginkannya sengaja tetap
berstatus mahasiswa karena bila telah lulus namun menganggur agak lama bisa
memperoleh penilaian buruk dari perusahaan yang akan merekrutnya. Ternyata
fenomena mahasiswa abadi juga melanda negara maju seperti Jepang.
Artikel-artikel
lainnya tentang budaya, adat istiadat dan pemikiran orang Jepang di Nagoya terutama
di lingkungan pekerja di pusat pabrik spare part Toyota juga dijelaskan dengan
bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Membaca buku ini seperti mendengar
langsung cerita dari penulisnya. Buku yang menarik untuk dibaca sambil minum
kopi dan makan cemilan, sesantai kita menonton TV atau mendengarkan teman yang
sedang bercerita.
Kita pasti
akan dibawa termenung memikirkan pemikiran dan pandangan orang Jepang tentang
mengapa mereka sangat memperhatikan kebersihan toiletnya, mengapa mereka sangat
menghargai orang-orang berkebutuhan khusus dengan mengajari mereka hal yang
bermanfaat yang dapat mereka gunakan untuk mencari donasi melalui mengajar
origami kepada anak-anak atau orang asing. Kita akan memahami hubungan senpai (
senior ) dan kouhai ( junior ) baik di dunia akademis maupun di lingkungan
pekerjaan. Kita juga tahu mengapa tampil bugil di Jepang dianggap biasa namun
memotret orang Jepang tanpa ijin yang bersangkutan dituntut secara hukum walau
yang dipotret tidak bugil dan berpakaian lengkap.
Pornografi
tidak dianggap sebagai hal yang tabu di negara yang penduduknya sangat santun,
manakala pelakunya, fotomodel dan pemotret terikat perjanjian, di luar itu
tentu akan mendapatkan sanksi hukum. Majalah khusus dewasa dengan gambar
perempuan setengah bugil di jual bebas di supermarket dan kios majalah di
stasiun namun pembeli di bawah umur tidak akan berani melihat atau membeli
karena sanksi moral yang lebih besar daripada denda, malu. Budaya malu yang
ditanamkan sejak kecil sudah cukup menjadi sanksi sangat berat yang bahkan
dapat membuat orang Jepang bunuh diri manakala melakukan hal yang melanggar
norma di negara tersebut.
Jepang di
mata orang Suroboyo atau Jawa bisa menjadi pengalaman yang menarik, ketika kita
dapat menemukan perbedaan dan persamaan antara kedua budaya, Jepang dan Jawa.
Bisa jadi orang Jawa relatif mudah memahami bahasa dan budaya Jepang karena ada
beberapa hal yang memang mirip seperti huruf Jepang dan Jawa yang terdari dari
vokal dan konsonan “ha, na, ca, ra, ka”, juga level bahasa yang dibedakan mirip
dengan bahasa Jawa seperti bahasa halus yang digunakan untuk orang yang
memiliki usia atau jabatan lebih tinggi, ngoko
dan madya. Selain bahasa,
penghormatan kepada orang yang lebih tua dan memiliki jabatan yang lebih tinggi
juga menjadi kemiripan yang kadangkala membuat kita merasa tidak terlalu asing
dengan budaya Jepang.
Meskipun
buku ini dengan lugas dan bahasa sederhana mampu menjelaskan perbedaan,
kemiripan dan pemikiran orang Jepang, tetapi ada hal yang kurang bisa
tersampaikan dengan baik oleh penulisnya. Hal ini bisa jadi bukan karena
kurangnya wawasan penulis buku ini, namun lebih pada hal yang mungkin kurang
pantas disampaikan dan dapat menyebabkan perbedaan persepsi bagi pembaca.
Kurang
lebih, buku ini telah mewakili penjelasan tentang 7 sisi unik kultur Jepang,
membaca buku ini, selain dapat menambah wawasan kita tentang budaya Jepang, juga
memberikan pandangan bahwa apa yang tabu disini belum tentu dianggap tabu di
sana. Apa yang baik di Jepang, belum tentu baik bila diterapkan di Indonesia.
Selain itu bagi kita yang selama ini selalu menganggap Jepang is The Best dalam
hal pendidikan dan keagungan budaya, tetap memiliki kelemahan dan kekurangan
sebagaimana bangsa kita sendiri sehingga tidak perlu merasa minder bila
berjumpa dengan mereka.
Berminat memiliki buku ini? Anda dapat menghubungi saya via WA 08123121713, masih tersisa 3 ekslempar atau Anda dapat mencarinya di Gramedia terdekat.
Waw... pengen banget bisa ke Jepang.
ReplyDelete