Dicopas dari Yusuf Mansur Network
Sebagian orang mengejar kebahagiaan pada
diri wanita cantik. Dia menyangka setelah mengawini seorang wanita cantik, maka
dia akan bahagia. Tapi, tak lama kemudian, bahtera rumah tangganya kandas. Di
depan sorot kamera, tampak mempelai begitu bahagia, bersanding wanita cantik.
Namun, kecantikan sering menjadi fitnah dan kemudian membawa bencana. Pujian
yang bertabur dari umat manusia tak membuatnya bahagia. Ada yang mengejar
kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut
kekuasaan. Sebab, kekuasaan memang sebuah kenikmatan dalam kehidupan. Dengan
kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak. Tapi, betapa banyak manusia yang
justru hidup merana dalam kegemilangan kekuasaan. Dia sama sekali tidak
merasakan kebahagiaan, setelah kuasa di tangan. Sebelum memegang kuasa,
senyuman sering menghiasai bibirnya. Namun, setelah kuasa di dalam genggaman,
kesulitan dan keresahan justru menerpanya, tanpa henti.
Orang sakit menyangka, bahagia terletak
pada kesehatan!
Orang miskin menyangka, bahagia terletak
pada harta kekayaan!
Rakyat jelata menyangka kebahagiaan
terletak pada kekuasaan!
Orang biasa menyangka bahagia terletak pada
kepopuleran!
Dan sangkaan-sangkaan lain...
Selama ribuan tahun, para ahli pikir, telah
sibuk membincang tentang kebahagiaan. Kamus The Oxford English Dictionary
(1963) mendefinisikan ”happiness” sebagai: ”Good fortune or luck in life or in
particular affair; success, prosperity.” Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan
adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Kebahagiaan
bersifat sangat temporal. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada
kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut
pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia.
Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia.
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada
manusia adalah jika dia berhasil mencapai ”ma’rifatullah”, telah mengenal Allah
SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
”..Seorang hamba rakyat akan sangat
gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik
berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja
berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegem.biraan, lebih
dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud
ini yang lebih dari kemuliaan Allah... Oleh sebab itu tidak ada ma’rifat yang
lebih lezat daripada ma’rifatullah.”
Ma’rifatullah adalah buah dari ilmu. Ilmu
yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan, bahwa ”Tiada Tuhan selain
Allah” (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang
abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ”ayat-ayat-Nya”,
baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang
memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam
semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Alam semesta ini adalah ”ayat”,
tanda-tanda, untuk mengenal Sang Khaliq. Maka, celakalah orang yang tidak mau
berpikir tentang alam semesta.
Sebagai orang Muslim, kita tentu
mendambakan hidup bahagia semacam itu; hidup dalam keyakinan; mulai dengan
mengenal Allah dan ridha menerima keputusan-keputusan-Nya, serta ikhlas
menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita ingin, bahwa kita merasa bahagia dalam
menjalankan shalat, kita bahagia menunaikan zakat, kita bahagia bersedekah,
kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun bahagia menjalankan tugas amar
ma’ruf nahi munkar.
Mudah-mudahan, Allah mengaruniai kita ilmu
yang mengantarkan kita pada sebuah sebuah keyakinan dan kebahagiaan abadi,
dunia dan akhirat. Amin
No comments:
Post a Comment