Wednesday, February 26, 2014

Cerpen ; Perempuan kedua

Nenekku tak bisa membaca, juga menulis. Tapi dia mengeja hidupnya sebaris demi sebaris. Menghayati setiap kesulitan hidup sebagai pelajaran untuk kemudian diajarkan kembali kepada kami, anak cucunya.
“Sejarah akan selalu terulang, anak-anak,..karena itu sebisa mungkin belajarlah dari pengalaman orang lain”. Kebijakan sederhana dari seorang perempuan buta huruf namun sangat bersungguh-sungguh dalam memaknai hidup.
Menikmati sekecil apapun kegembiraan sebagai pelipur lara dikala duka. Bahwa syukur adalah bentuk kebahagiaan yang tak bisa dibeli. Karena syukur adalah masalah hati. Ketika hatimu bisa menerima keadaanmu, saat itulah kamu sedang berbahagia.
Nenekku sendirian menghidupi 6 orang anak, karena suami yang pergi meninggalkannya demi perempuan lain.
“Aku mungkin bisa memaafkan, namun tidak melupakan”, kata nenek.
Kesusahan hidup tak membuatnya menyerah. Semasa gadis dia hidup di jaman penjajahan Jepang. Nenekku tahu kapan harus bersembunyi dari jarahan tentara Jepang yang tak hanya menjarah harta benda namun juga kehormatan. Satu demi satu temannya dijadikan jugun ianfu yang laki-laki dirampas untuk dijadikan kuli tanpa dibayar. Hanya dia dan beberapa teman perempuan yang selamat hingga masa penjajahan Jepang berakhir. Hingga akhirnya Jepang bertekuk lutut setelah bom atom yang dijatuhkan tentara Amerika menghancurkan dua kota besar, Hiroshima dan Nagasaki.
              Nenekku menikah dengan seorang laki-laki buruh petani, dan memiliki 6 orang anak. Ibuku adalah satu-satunya anak perempuan. Untuk membantu menambah penghasilan suami, nenekku bekerja sebagai buruh pemipil jagung. Sen demi sen dikumpulkannya, sebagian ditabung agar bila ada keperluan mendadak nenek tak perlu menunggu penghasilan dari suami. Sikap gemi sethithi nya ternyata ada gunanya. Ketika suatu saat dia memergoki sang suami memiliki perempuan lain dan meninggalkannya. Penghasilan mungkin berkurang karena kakek tak lagi memberikan uangnya untuk nenek. Namun Tuhan selalu bersama kami. Selalu ada saja pekerjaan yang membutuhkan tenaga nenek hingga dia memiliki cukup uang untuk menghidupi ke enam orang anaknya. Meski mereka hanya berbekal pendidikan sekolah rakyat, namun cukup berhasil menjalani hidup. Ibuku menikah muda dengan seorang pegawai walau hanya berstatus sebagai istri kedua. Meski setelah itu istri pertama dari ayah memilih untuk bercerai.
Dengan bantuan suaminya, paman-pamanku beroleh pekerjaan di kantor kabupaten. Salah seorang pamanku memilih merantau ke Jakarta.
              Ibuku meninggal setelah setahun meninggalnya ayah dan aku diasuh oleh nenek bersama kakakku.
Nenek yang tak bisa membaca dan menulis namun memahami aku. Ketika aku bersedih karena teman-teman menjauhiku, nenek selalu berupaya agar aku tetap tegar. Dia mengajariku tentang hidup dengan kisah-kisahnya di masa muda dulu.
              “Terima lah nasibmu sebagai yatim piatu, namun jangan menyerah karena hinaan orang. Mereka tak tahu betapa istimewanya kamu”. Demikian nenekku selalu menghiburku. Disuruhnya aku membaca banyak buku agar aku bisa melupakan kegalauan hatiku. Saat itulah aku mulai menulis buku harianku karena tak tega melihat nenek ikut bersedih dengan cerita-ceritaku.
              “Jadilah perempuan yang tegar, kuat, tak mudah menyerah namun tetap lembut. Seorang perempuan harus mandiri meski punya suami kaya dan baik hati. Karena kita tak pernah tahu kapan cinta bisa terbagi. Kalaupun kamu rela berbagi dengan perempuan lain, kamu tak akan menyusahkan banyak orang kalau ternyata suatu hari nanti kamu memilih untuk sendiri”.
              Kakakku memilih untuk bekerja setelah lulus STM, Nenek menyuruhku melanjutkan hingga kuliah meski untuk itu dia harus berjuang membesarkanku, ayah mewariskan rumah yang agak besar hingga bisa kami sekat-sekat menjadi kamar kos yang bisa kami sewakan. Dengan uang sewa itulah, aku, kakak dan nenek bertahan hidup. Sebagian dibantu oleh kakak-kakak ibu yang telah bekerja dan berkeluarga. Beruntung semasa kuliah aku mendapatkan beasiswa dan mulai kerja sambilan sepulang kuliah.
              Seperti yang pernah nenek katakan, bahwa hidup yang keras membuat kita tegar. Bila kita keras pada kehidupan maka kehidupan akan melunak demikian pula sebaliknya.
Bila banyak teman di masa muda berleha-leha, belajar dan bersenang-senang, aku rela mengetik hingga dini hari, bekerja di sebuah rental komputer dan warnet demi melanjutkan kuliah. Aku bahkan tak ada waktu terlalu dekat dengan teman laki-laki. Mereka hanya kukenal sepintas lalu di kampus, di tempat rental karena mereka puas dengan hasil kerjaku atau di majlis taklim tempatku menimba ilmu agama di sela jadwal padat kuliah dan bekerja. Kalaupun ada satu yang istimewa dia hanya kuhubungi via surat, seorang sahabat pena yang kelak ternyata menjadi pasangan hidupku selamanya. Padanya kuceritakan segala kisahku dan betapa aku merasa tersanjung karena dia menyebutku perempuan tangguh.
              Kini nenek telah tiada. Namun semangat hidupnya selalu ku kenang. Ajarannya agar aku mandiri dan tak menyusahkan orang lain selalu kupegang teguh. Sesulit apapun tak boleh menghentikan aku berjuang meraih apa yang kuimpikan.
              Selama hidup yang kuceritakan dalam buku harianku, 2 perempuan yang menginspirasi aku, nenek dan ibuku. Keduanya adalah perempuan tangguh yang tak serta merta menjadi cengeng ketika cintanya diduakan. Poligami adalah pilihan yang tak bisa mereka elakkan. Namun meratapi dan menyerah bukanlah pilihan. Ada anak-anak yang membutuhkannya untuk menjadi tegar, kuat dan mandiri. Nenek, walau tak bisa melupakan dan memaafkan kakek, tetap menerima kedatangannya ketika memohon maaf di usia tuanya dan tak lama kemudian meninggal dunia di rumah istri keduanya. Ibuku terpaksa menerima pinangan pegawai yang telah beristri dan memiliki anak, demi membantu adik-adiknya agar bisa hidup layak dan bersekolah. Selalu ada yang dikorbankan demi kebahagiaan orang yang kita cintai, kata ibuku. Hidup ini janganlah terlalu egois dengan hanya memikirkan kebahagiaan diri sendiri. Ini bukan salah ibu yang kemudian membuat istri pertama ayah meminta cerai. Ayahmu yang tak memperkirakan perasaan istri pertama, walau awalnya bisa menerima ibu namun sebagai perempuan dan merasa menjadi yang pertama tak pernah bisa menahan gejolak cemburu karena diduakan. Padahal seluruh gaji ayah untuk istri pertama, ibu mendapatkan penghasilan dari peternakan ayah yang sengaja diberikan ayah kepada ibu dan kakak-kakaknya untuk di kelola.
             Ini adalah pelajaran hidup yang sangat berharga untukku. Sebagai perempuan dan kini aku telah berkeluarga. Segala hal yang baik dan buruk bisa terjadi. Dan dalam hidup ini selalu ada pilihan-pilihan. Terima kasih untuk nenek dan ibu, guruku yang telah mengajariku tentang kehidupan lewat kisah-kisahnya yang kutulis dalam buku harianku.             






2 comments: