Nenekku tak bisa membaca, juga
menulis. Tapi dia mengeja hidupnya sebaris demi sebaris. Menghayati setiap
kesulitan hidup sebagai pelajaran untuk kemudian diajarkan kembali kepada kami,
anak cucunya.
“Sejarah akan selalu terulang, anak-anak,..karena
itu sebisa mungkin belajarlah dari pengalaman orang lain”. Kebijakan sederhana
dari seorang perempuan buta huruf namun sangat bersungguh-sungguh dalam
memaknai hidup.
Menikmati sekecil apapun
kegembiraan sebagai pelipur lara dikala duka. Bahwa syukur adalah bentuk
kebahagiaan yang tak bisa dibeli. Karena syukur adalah masalah hati. Ketika
hatimu bisa menerima keadaanmu, saat itulah kamu sedang berbahagia.
Nenekku sendirian menghidupi 6 orang anak,
karena suami yang pergi meninggalkannya demi perempuan lain.
“Aku mungkin bisa memaafkan,
namun tidak melupakan”, kata nenek.
Kesusahan hidup tak membuatnya menyerah.
Semasa gadis dia hidup di jaman penjajahan Jepang. Nenekku tahu kapan harus
bersembunyi dari jarahan tentara Jepang yang tak hanya menjarah harta benda
namun juga kehormatan. Satu demi satu temannya dijadikan jugun ianfu yang
laki-laki dirampas untuk dijadikan kuli tanpa dibayar. Hanya dia dan beberapa
teman perempuan yang selamat hingga masa penjajahan Jepang berakhir. Hingga akhirnya
Jepang bertekuk lutut setelah bom atom yang dijatuhkan tentara Amerika
menghancurkan dua kota besar, Hiroshima dan Nagasaki.
Nenekku
menikah dengan seorang laki-laki buruh petani, dan memiliki 6 orang anak. Ibuku
adalah satu-satunya anak perempuan. Untuk membantu menambah penghasilan suami,
nenekku bekerja sebagai buruh pemipil jagung. Sen demi sen dikumpulkannya,
sebagian ditabung agar bila ada keperluan mendadak nenek tak perlu menunggu
penghasilan dari suami. Sikap gemi sethithi nya ternyata ada gunanya. Ketika
suatu saat dia memergoki sang suami memiliki perempuan lain dan
meninggalkannya. Penghasilan mungkin berkurang karena kakek tak lagi memberikan
uangnya untuk nenek. Namun Tuhan selalu bersama kami. Selalu ada saja pekerjaan
yang membutuhkan tenaga nenek hingga dia memiliki cukup uang untuk menghidupi
ke enam orang anaknya. Meski mereka hanya berbekal pendidikan sekolah rakyat,
namun cukup berhasil menjalani hidup. Ibuku menikah muda dengan seorang pegawai
walau hanya berstatus sebagai istri kedua. Meski setelah itu istri pertama dari
ayah memilih untuk bercerai.
Dengan bantuan suaminya, paman-pamanku
beroleh pekerjaan di kantor kabupaten. Salah seorang pamanku memilih merantau
ke Jakarta.
Ibuku
meninggal setelah setahun meninggalnya ayah dan aku diasuh oleh nenek bersama
kakakku.
Nenek yang tak bisa membaca dan menulis
namun memahami aku. Ketika aku bersedih karena teman-teman menjauhiku, nenek
selalu berupaya agar aku tetap tegar. Dia mengajariku tentang hidup dengan
kisah-kisahnya di masa muda dulu.
“Terima
lah nasibmu sebagai yatim piatu, namun jangan menyerah karena hinaan orang.
Mereka tak tahu betapa istimewanya kamu”. Demikian nenekku selalu menghiburku.
Disuruhnya aku membaca banyak buku agar aku bisa melupakan kegalauan hatiku.
Saat itulah aku mulai menulis buku harianku karena tak tega melihat nenek ikut
bersedih dengan cerita-ceritaku.
“Jadilah
perempuan yang tegar, kuat, tak mudah menyerah namun tetap lembut. Seorang
perempuan harus mandiri meski punya suami kaya dan baik hati. Karena kita tak
pernah tahu kapan cinta bisa terbagi. Kalaupun kamu rela berbagi dengan
perempuan lain, kamu tak akan menyusahkan banyak orang kalau ternyata suatu
hari nanti kamu memilih untuk sendiri”.
Kakakku
memilih untuk bekerja setelah lulus STM, Nenek menyuruhku melanjutkan hingga
kuliah meski untuk itu dia harus berjuang membesarkanku, ayah mewariskan rumah
yang agak besar hingga bisa kami sekat-sekat menjadi kamar kos yang bisa kami
sewakan. Dengan uang sewa itulah, aku, kakak dan nenek bertahan hidup. Sebagian
dibantu oleh kakak-kakak ibu yang telah bekerja dan berkeluarga. Beruntung
semasa kuliah aku mendapatkan beasiswa dan mulai kerja sambilan sepulang
kuliah.
Seperti
yang pernah nenek katakan, bahwa hidup yang keras membuat kita tegar. Bila kita
keras pada kehidupan maka kehidupan akan melunak demikian pula sebaliknya.
Bila banyak teman di masa muda
berleha-leha, belajar dan bersenang-senang, aku rela mengetik hingga dini hari,
bekerja di sebuah rental komputer dan warnet demi melanjutkan kuliah. Aku
bahkan tak ada waktu terlalu dekat dengan teman laki-laki. Mereka hanya kukenal
sepintas lalu di kampus, di tempat rental karena mereka puas dengan hasil
kerjaku atau di majlis taklim tempatku menimba ilmu agama di sela jadwal padat
kuliah dan bekerja. Kalaupun ada satu yang istimewa dia hanya kuhubungi via
surat, seorang sahabat pena yang kelak ternyata menjadi pasangan hidupku
selamanya. Padanya kuceritakan segala kisahku dan betapa aku merasa tersanjung
karena dia menyebutku perempuan tangguh.
Kini
nenek telah tiada. Namun semangat hidupnya selalu ku kenang. Ajarannya agar aku
mandiri dan tak menyusahkan orang lain selalu kupegang teguh. Sesulit apapun
tak boleh menghentikan aku berjuang meraih apa yang kuimpikan.
Selama
hidup yang kuceritakan dalam buku harianku, 2 perempuan yang menginspirasi aku,
nenek dan ibuku. Keduanya adalah perempuan tangguh yang tak serta merta menjadi
cengeng ketika cintanya diduakan. Poligami adalah pilihan yang tak bisa mereka
elakkan. Namun meratapi dan menyerah bukanlah pilihan. Ada anak-anak yang
membutuhkannya untuk menjadi tegar, kuat dan mandiri. Nenek, walau tak bisa
melupakan dan memaafkan kakek, tetap menerima kedatangannya ketika memohon maaf
di usia tuanya dan tak lama kemudian meninggal dunia di rumah istri keduanya.
Ibuku terpaksa menerima pinangan pegawai yang telah beristri dan memiliki anak,
demi membantu adik-adiknya agar bisa hidup layak dan bersekolah. Selalu ada
yang dikorbankan demi kebahagiaan orang yang kita cintai, kata ibuku. Hidup ini
janganlah terlalu egois dengan hanya memikirkan kebahagiaan diri sendiri. Ini
bukan salah ibu yang kemudian membuat istri pertama ayah meminta cerai. Ayahmu
yang tak memperkirakan perasaan istri pertama, walau awalnya bisa menerima ibu
namun sebagai perempuan dan merasa menjadi yang pertama tak pernah bisa menahan
gejolak cemburu karena diduakan. Padahal seluruh gaji ayah untuk istri pertama,
ibu mendapatkan penghasilan dari peternakan ayah yang sengaja diberikan ayah
kepada ibu dan kakak-kakaknya untuk di kelola.
Ini
adalah pelajaran hidup yang sangat berharga untukku. Sebagai perempuan dan kini
aku telah berkeluarga. Segala hal yang baik dan buruk bisa terjadi. Dan dalam
hidup ini selalu ada pilihan-pilihan. Terima kasih untuk nenek dan ibu, guruku
yang telah mengajariku tentang kehidupan lewat kisah-kisahnya yang kutulis
dalam buku harianku.
bagus bangeet, baca juga Cerpen Islami punya kami ya
ReplyDeletekeren sekali gan ceritanya dan mengharukan Obat Pengering Luka
ReplyDelete