Monday, April 28, 2014

Warung Kopi dan Rumah Baca

Ini cerita tentang warung kopi milik kakakku. Selepas SMA, kakakku tak berminat melanjutkan kuliah atau bekerja sebagai buruh. Dan membuka warung kopi di rumah adalah pilihannya, alasannya karena dia hobi ngopi dan teman-temannya banyak. Bisnis dan hobi, not so bad laahh..Okelah kalo begitu. Sedangkan aku, dipaksanya kuliah. Maka tahun pertama adalah tahun perjuangan, belajar sekeras mungkin agar dapat beasiswa dan mengajar les privat anak SD sepulang kuliah, tahun ke dua setelah dapat beasiswa bebanku agak ringan, terutama setelah dapat tambahan pekerjaan di rental komputer dan wartel. Tak ada waktu untuk kongkow-kongkow dengan teman ( walau pernah sempat kabur ke Jogja hehehe ). Satu-satunya waktu yang kunikmati adalah di warung kopi kakak. Dia selalu melarangku membantunya. Selain karena kuatir mengganggu kuliah, juga agak tabu seorang cewek ada di sana. Tapi untungnya, pelanggan warung kopi kakak semuanya baik dan tak pernah usil. Sebagian kukenal sebagai buruh pabrik rotan yang ada di dekat rumah, lainnya adalah kuli pasar dan beberapa teman SMA kakak yang sering main ke rumah,dulunya.

Ada hal yang sebenarnya menarik perhatianku di warung kopi itu. Karena kakakku sangat hafal campuran kopi dan gula untuk masing-masing pelanggannya. Si A berapa takaran kopinya dan berapa sendok gulanya, beda dengan si B dan si C. Aku termangu dan akhirnya bertanya padanya, "bagaimana cara menghafalnya?". Kakakku tertawa dan menjawab "don`t think, feel,  you fool!" Disuruhnya aku merasa tanpa berpikir. Makanya serasa de ja vu kalau ada yang bilang don`t think, feel :-). Dan aneh memang, walau aku sudah mengikuti takaran yang kakak ajarkan, tapi kata si A, kopinya masih kurang, kemanisan karena kebanyakan gula. Weleh...Susah amat bikin kopi.

Diajarinya aku membaui aroma kopi robusta dan arabica. Dan kakakku lebih suka menggiling kopi sendiri, bukan kopi instan. Kadang-kadang ada stok kopi instan untuk beberapa pelanggannya yang lambung dan ususnya bermasalah dengan kopi `beneran`.

Karena aku suka baca, kadang-kadang buku yng kupunya kutinggalkan di rumah kakak. Dan kami pun sepakat patungan untuk berlangganan koran. Banyak yang betah nongkrong di sana, ngopi sambil baca koran, kata beberapa buruh disana setengah becanda "serasa kayak bos di kantor hehehe". Kadang-kadang aku ngobrol dengan mereka sebentar sebelum "diusir" kakak.

Musim bola adalah berkah, pengunjungnya makin ramai, termasuk waktu menjelang dan selama pemilu. Warung kopi kakakku kerap di booking caleg tertentu, semua orang yang dateng di traktir dan di sanalah para caleg itu "jualan" program, misi dan visi partainya. Para buruh dan kuli itu manggut-manggut saja, dan ketika si caleg pergi setelah membayar semua kopi mereka, mereka ketawa terbahak-bahak...bodo amat sama partai yang penting hepi..hihihihi.

Sampai aku lulus kuliah dan akhirnya bekerja, kakak masih tekun dengan warung kopinya dan berniat memperluas bangunannya. Namun, sayang, Tuhan berkehendak lain. Tahun 2012, kakakku meninggal dunia karena sakit. Padahal kurang beberapa bulan lagi dia menikah dengan perempuan pujaannya.
Warung dan rumahnya kuhibahkan kepada suami istri penjual nasi agar dirawat. Dan setiap kali aku melewati bangunannya yang terawat, aku selalu merasa kakakku masih ada di sana dengan tawa dan candanya yang khas, denting gelas dan obrolan pelanggannya tentang bola, politik atau sekedar ngerumpi.

Rumah Baca ini, berasal dari impiannya dan impianku

@Rumah Baca Shenawangtri

No comments:

Post a Comment