Saturday, December 7, 2013

Ketika anakku di bully di sekolah

Little Spiderman

Sebagai ibu pekerja, saya memiliki sedikit kesulitan untuk bisa memantau kegiatan anak di sekolah. Walau tetap, saya harus rela kadang-kadang bolos kerja atau terlambat ke kantor demi anak. Kadang sedih juga, baru bisa main dan ketemu anak setelah jam kerja atau saat libur akhir pekan. Seringkali saya harus menahan lelah demi bisa bermain atau mengajarinya sesuatu sepulang kerja.
Kata seorang ulama perempuan, anak yang diasuh pembokat bisa jadi punya mental pembokat. Wew..jadi ngeri. Untungnya pembantu saya baik, agamanya bagus, cukup berumur dan mengajari anak saya mengaji. Biarpun begitu, cita-cita saya untuk berhenti bekerja dan mengasuh anak masih tetap ada. Semoga, tidak lama lagi.
Hampir sebulan, anak saya mogok sekolah. Masih TK sebenarnya, jadi kadang-kadang saya bebaskan ia untuk bolos atau terlambat kalau sedang tidak mood. Namun lama kelamaan, kok jadi berhari-hari mogok sekolahnya. Kalau saya tanya apakah hari ini dia sekolah atau tidak, jawabnya selalu tidak dengan aneka alasan, mulai sakit ( tapi badannnya ndak panas tuh ), bosan, capek, malas dan sebagainya.
Saya mencoba mendatangi sekolahnya berbicara dengan guru bahkan kepala sekolahnya, memperhatikan suasana kelas, nampaknya segalanya normal saja. Ada apa dengan anak saya? Berbagai buku tentang perkembangan anak saya baca, googling dan menemukan blog parenting, mendengarkan saran beberapa teman, namun saya tidak menemukan solusi menghadapi anak saya yang hyperaktif, malas belajar dan cederung memberontak. Padahal kalau moodnya lagi baik, belajar apapun dia mau. Apakah ini bentuk protes dia kepada ibunya yang sibuk bekerja? Yang paling dia sukai adalah menggambar, dan sungguh mengejutkan, dia bisa menulis huruf kanji Jepang padahal saya tidak pernah mengajarinya. Tokoh idolanya? NARUTO dan SPIDERMAN.
Saya tahu di kelasnya ada anak yang terkenal sangat nakal dan badannya lebih besar dari anak saya. Kadang-kadang kalau main ke rumah, saya perhatikan dia memang cenderung mengganggu, namun anak saya nampak enjoy bermain dengannya.
Satu hari saya memutuskan untuk ijin terlambat masuk kerja, si kecil mogok masuk sekolah karena hari itu ada ulangan ( sebenarnya saya terkejut, anak TK kok ada ulangan? )
Untungnya, gurunya mengijinkan saya memantau di dalam kelas. Awalnya sih anak saya mogok tidak mau menulis ( padahal sebenarnya dia bisa ), lama-kelamaan dia mencair dan mau menulis. Saya perhatikan seorang anak perempuan berusaha mendekati anak saya dan memberikan semangat untuk bisa mengerjakan, kalau anak saya kesulitan menulis dia yang mengajari. Saya tersenyum, ternyata anak saya “haus” perhatian. Dalam hati saya merasa bersalah. Saya kok tidak bisa sesabar gadis kecil ini ya? Namanya Intan.
Intan juga bercerita kepada saya bahwa anak saya Awan, sering di “nakalin “ ( bully ), oleh si jagoan kelas, anak paling besar. Tidak hanya dipukul, namun mainan atau barangnya di rebut dan sering membuat keributan. Dia tidak akan berhenti mengganggu anak saya hingga menangis. Dan Intan lah yang seringkali membelanya. Mungkin karena hal ini Awan tidak mau sekolah namun enggan menceritakan yang sebenarnya kepada saya.
Di bully di sekolah. Sepertinya mengerikan sekali, sama mengerikan dengan di bully di pasar oleh preman. Lalu dimana fungsi guru yang sebenarnya? Mereka tidak hanya punya kewajiban mengajarkan calistung, namun sangat penting mengajarkan attitude, sikap diri dan moral kepada anak. Guru seakan dikejar target kurikulum dan saya sangat tidak setuju, anak seusia itu ditekan sedemikian rupa. Seharusnya usia TK adalah usia bermain sambil belajar, bukan belajarnya yang ditekankan , namun bermainnya.
Menyedihkan sekali bila para guru hanya peduli pada kemampuan akademis namun mengabaikan pendidikan karakter. Mengabaikan “sinyal” apakah seorang anak mendapat masalah atau tidak dalam belajarnya.
Saya jadi ingat cerita masa kecil saya. Waktu SD saya punya teman dekat seorang anak laki-laki. Dia tidak disukai anak lain karena nakal. Ternyata hanya kepada saya dia tidak nakal dan dia bisa berbicara apapun yang dia mau, saya selalu mendengarkan ceritanya. Maka dari mulut seorang anak kelas 4 SD, meluncurlah cerita ayah ibunya yang selalu bertengkar, kakak-kakaknya yang nakal dan suka mengganggu. Tambah frustasi ketika dia tidak punya teman main di sekolah. Kondisi keluarga yang amburadul itulah yang membuat dia jadi pemberontak seperti kakak-kakaknya. Dia juga kerap di bully teman-temannya.
Yang mengerikan, kalau lagi suntuk, dia suka menyilet jari-jarinya hingga luka, berdarah hingga kesulitan menulis. Setiap hari saya harus sweeping tasnya agar tidak menyimpen silet.
Aku hanya ingin di dengarkan, itu katanya, ketika suatu siang pulang sekolah, saya menemukannya sendirian di halaman sekolah dengan jari jemari penuh darah dan luka. Dengan sabar, saya membersihkan lukanya, mendengarkan cerita-ceritanya.
Ketika lulus SD di acara perpisahan dia berkata “terima kasih, kamu mau mendengarkanku, karena bila tak ada seorangpun yang peduli, siang itu aku hampir memutus urat nadiku”
Ya Tuhan….
Tuhan telah membalas kebaikan kecil yang pernah saya lakukan itu melalui Intan,  gadis kecil yang menemani anak saya agar mau masuk sekolah dan belajar walau di bully temannya. Dan kini setiap pulang sekolah, Awan selalu bercerita dengan ceria,”Mama, hari ini aku belajar bersama Intan” :-)

No comments:

Post a Comment