Saturday, June 3, 2017

#Day19, DILEMA 2

Jam sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi, saya sudah akan bersiap-siap berangkat bekerja, demikian juga suami dan anak pun sudah siap berangkat sekolah. Saya mengantarnya setiap pagi lalu lanjut perjalanan ke tempat kerja yang kebetulan hanya 10 menit naik motor dari sekolah anak. Tiba-tiba ada telepon masuk, dari pengasuh anak saya.

“Assalamu’alaikum, Bu,” sapa suara dari seberang.

“Wa’alaikumsalam,” jawab saya.

“Maaf saya hari ini tidak bisa datang karena ada keperluan keluarga”.

Saya terdiam sejenak, lalu menjawab,”Baiklah kalau begitu, tidak apa-apa. Tapi besok bisa datang ?”
“Bisa, Bu”, jawabnya.

Klik, telepon pun ditutup. Melihat wajah saya suami sudah menduga pasti pengasuh tidak bisa datang.

“Kalau begitu kamu bolos kerja ?”.

“Sebentar aku pikir dulu,”kataku.

“Aku ke kampus agak siang, mungkin bisa kubawa Awan ke kampus tapi mungkin pulang malam karena ada jam kuliah malam”, kata suami.

“Oke, begini saja, nanti Awan sepulang sekolah ikut ke kampus, lalu aku pulang kerja menjemputnya, sampai kampus sekitar jam 18.30, kuliah malam mulai jam 18.00 kan?. Awan bisa tunggu di kantor dosen, ada penjaga kan?”.

Kebetulan penjaga fakultas sudah mengenal anak saya yang sering diajak ke kampus oleh ayahnya.
Maka pagi itu kami membuat kesepakatan membagi waktu mengasuh anak karena kami sama-sama bekerja. Tidak mudah, karena jadwal kerja yang berlainan.

Tengah hari, si pengasuh menelepon lagi kemungkinan besok tidak bisa datang. Saya pun cuma bisa mengiyakan dan memaklumi. Setelah itu saya segera menghubungi suami via WA apakah besok masih bisa masuk agak siang, karena saya terpaksa harus ijin atasan agar dapat bekerja setengah hari.

“Besok aku ada kuliah siang”, jawab suami,”Jadi aku harus berangkat jam 11 karena kuliahnya jam 1 siang”.

Sejenak saya pun berpikir, anak pulang jam 10, tiba di rumah jam 11 karena mobil jemputan muter-muter dulu mengantar anak lain.

“Nanti Awan gimana kalau aku tinggal sendiri di rumah? Kamu ijin kantor bisa sampai rumah jam berapa?”.

“Aku kemungkinan baru sampai rumah jam 12 siang, Awan setengah jam saja menunggu sendiri di rumah mungkin tidak apa-apa. Ada tetangga yang bisa aku minta tolong mengawasinya sebentar”.

Deal. Suamipun mengijinkan. Sekarang tinggal 1 masalah, ijin atasan. Pekerjaan sedang menumpuk, dan sebelum menghadap atasan, saya bertanya kepada supervisor apakah saya bisa meminta bantuannya besok  mengerjakan beberapa pekerjaan saya sementara sisanya bisa saya lakukan di rumah. Alhamdulillah dia menyanggupi, maka saya pun menghadap atasan.

“Selamat siang pak, bisa minta waktunya sebentar?”, saya mengetuk pintu ruangan atasan yang saat itu sedang menghadap komputer.

“Ok, silahkan masuk”, jawabnya, tanpa memalingkan wajahnya dari komputer, pasti sedang membaca email atau report penting. Saya duduk di kursi yang menghadap mejanya. 

“Mohon maaf, besok saya ijin masuk setengah hari karena pengasuh anak saya tidak dapat masuk dan saya harus berbagi waktu dengan suami bergantian menjaga anak”.

Atasan saya berkata, “Memangnya tidak ada yang bisa dimintai tolong untuk menjaga anakmu ? orang tua, kerabat?”.

“Tidak ada pak, kedua orang tua saya sudah meninggal, sedangkan orang tua suami ada di Jakarta dan tidak dapat datang karena kesehatan kurang baik, kerabat saya kebetulan juga sedang tidak bisa membantu karena mereka juga bekerja”.

“Oke, lalu bagaimana dengan pekerjaanmu?”, tanyanya lagi.

“Saya mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada supervisor saya dan sisanya untuk reporting bisa saya kerjakan di rumah dan sorenya bisa saya kirim via email ke unit lain”.

“Saya memberikan project ini karena saya yakin kamu mampu mengerjakannya, salah satu diantaranya kamu hadir di sini untuk memastikan segalanya berjalan dengan baik. Kamu koordinatornya,paham kan?”.

“Saya tahu pak, tapi saya mohon maaf karena tidak bisa meninggalkan anak saya sendirian di rumah. Lagipula saya sudah berbagi waktu dengan suami, kemarin. Anak adalah tanggung jawab saya sebagai ibu, karena itu saya memohon kebijaksanaan bapak”.

Atasan saya diam.

“Lalu bagaimana dengan project ini”, tanyanya lagi.

“Saya sudah menyelesaikan laporan berupa timeline kepada bapak, hanya ada beberapa hal yang perlu disempurnakan dan bisa saya kerjakan di rumah. Saya dapat menerima dan mengirim email dari rumah.”

Atasannya saya lalu menghadap komputer,”Saya mungkin belum membacanya, sebentar”. Dia lalu membuka email dari saya membuka attachment dan membacanya dengan seksama. Lalu tersenyum dna menghadap saya.

“Kamu sudah menyelesaikan separuhnya, dan sepertinya berjalan dengan baik walau banyak hal yang harus kamu lakukan. Baiklah kamu saya ijinkan tidak masuk, namun pastikan kamu tetap berkoordinasi dengan unit lainnya”.

“Terima kasih, pak”. Saya pun lega.

Satu masalah terselesaikan.

Maka keesokan harinya saya mengerjakan pekerjaan di rumah sementara anak menggambar dan bermain, Katanya, “Aku suka mama di rumah”. 

Saya pun tersenyum, kadang merasa sedih meninggalkannya di rumah bersama pengasuh. Hari ini saya bisa bermain dengannya meski harus sambil mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. 

Menjawabi telepon dari atasan yang bertanya tentang beberapa hal atau menjawab WA message teman yang saya mintai bantuan mengerjakan beberapa pekerjaan.

Kadang saya membawa pekerjaan pulang, sambil mengajari anak mengerjakan pe-er. Suami pun protes, mengapa setelah 9 jam bekerja saya masih juga mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. 
Saya berkata,” Aku lebih suka pulang tepat waktu lalu mengerjakannya di rumah sambil bermain bersama anak daripada kerja lembur hingga malam di kantor”.

Setelah makan malam dan ngobrol sebentar dengan suami, maka saya pun bersiap “ngantor” di rumah.

Saya katakan kepada anak, “Liat nih, mama juga punya pe-er kayak kamu, kita kerjakan bareng, yuk”.

Maka letak meja belajar anak saya letakkan berdekatan dengan “meja kerja” saya di rumah. Saya membuka laptop, menyiapkan berkas-berkas, sedangkan anak sudah siap dengan buku dan pe-ernya.

“Mama, ini sulit, tolong ajarkan”, katanya saat saya sedang menekuni berkas kerja. Maka saya pun meletakkan berkas dan mengajarinya hingga paham.

“Kerjakan dulu ya, nanti mama lihat lagi”. Saya pun mengajarinya untuk mandiri belajar walau masih tetap harus ditemani. Sesekali saya mengkoreksinya dan memujinya bila berhasil menyelesaikan pe-ernya sendiri dengan benar.

Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 saat anak saya selesai mengerjakan pe-ernya, setelah menungguinya sebentar menyiapkan buku pelajaran untuk besok, maka saya menemaninya tidur. Pekerjaan kantor kembali saya selesaikan setelah semuanya tidur. Tak jarang hingga pukul 12 malam baru selesai. Atau bila terlalu lelah saya pun tidur dan bangun sekitar jam 3 pagi hingga subuh menyelesaikan pekerjaan. Subuh hingga pagi mempersiapkan sarapan untuk anak dan suami lalu berangkat kerja sambil mengantar anak ke sekolah.

Yang menyedihkan, saat anak sakit dan saya tak tega meninggalkannya di rumah hanya bersama pengasuh. Saya mencoba untuk tetap berangkat bekerja, namun fikiran tidak dapat fokus, tidak hanya karena anak sakit namun juga karena kurang istirahat, hanya sempat tidur 3 jam saja karena tengah malam anak tiba-tiba demam. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak masuk kerja keesokan harinya. Beruntung atasan saya dapat memaklumi.

Maka hari itupun saya menemani anak tidur di rumah, badannya masih panas dan susah makan. Setelah memaksanya minum obat akhirnya panasnya menurun dan dapat tidur. Siang itu saya kembali mengerjakan pekerjaan di rumah dan karena merasa kelelahan hingga tertidur di meja kerja dengan laptop menyala. Terbangun oleh adzan magrib dan suara motor suami yang baru sampai. 

Ya Allah, semoga saya kuat menjalaninya, hingga tiba waktunya saya berhenti bekerja dan fokus mengurus anak dan suami. Semoga pekerjaan ini dapat menjadi ladang pahala meski saya bukan ibu rumah tangga yang sempurna.

No comments:

Post a Comment