Saturday, June 3, 2017

#Day16, Dilema ibu pekerja

Jam sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi, saya sudah akan bersiap-siap berangkat bekerja, demikian juga suami dan anak pun sudah siap berangkat sekolah. Saya mengantarnya setiap pagi lalu lanjut perjalanan ke tempat kerja yang kebetulan hanya 10 menit naik motor dari sekolah anak. Tiba-tiba ada telepon masuk, dari pengasuh anak saya.

“Assalamu’alaikum, Bu,” sapa suara dari seberang.

“Wa’alaikumsalam,” jawab saya.

“Maaf saya hari ini tidak bisa datang karena ada keperluan keluarga”.

Saya terdiam sejenak, lalu menjawab,”Baiklah kalau begitu, tidak apa-apa. Tapi besok bisa datang ?”
“Bisa, Bu”, jawabnya.

Klik, telepon pun ditutup. Melihat wajah saya suami sudah menduga pasti pengasuh tidak bisa datang.

“Kalau begitu kamu bolos kerja ?”.

“Sebentar aku pikir dulu,”kataku.

“Aku ke kampus agak siang, mungkin bisa kubawa Awan ke kampus tapi mungkin pulang malam karena ada jam kuliah malam”, kata suami.

“Oke, begini saja, nanti Awan sepulang sekolah ikut ke kampus, lalu aku pulang kerja menjemputnya, sampai kampus sekitar jam 18.30, kuliah malam mulai jam 18.00 kan?. Awan bisa tunggu di kantor dosen, ada penjaga kan?”. Kebetulan penjaga fakultas sudah mengenal anak saya yang sering diajak ke kampus oleh ayahnya.

Maka pagi itu kami membuat kesepakatan membagi waktu mengasuh anak karena kami sama-sama bekerja. Tidak mudah, karena jadwal kerja yang berlainan. Beruntunglah suami adalah dosen yang jam mengajarnya agak longgar terutama menjelang ujian akhir semester seperti ini. Bisa dibayangkan betapa riwehnya saat kami berdua memiliki jadwal yang sangat padat. Tak jarang saya harus bolos kerja bila pengasuh anak sedang sakit atau anak saya yang sakit.

Suami sering mengalah agar saya tetap dapat masuk kerja karena konseksuensi dari bolos kerja di sebuah perusahaan swasta asing adalah potong gaji dan bila terlalu sering dianggap tidak profesional. Lagi pula membawa anak ke kampus masih dimaklumi karena beberapa dosen wanita juga kerap mengajak anak-anaknya. Mereka dapat bermain di halaman fakultas atau duduk manis sambil main gadget sementara ibu mereka mengajar. Bila yang diajak lebih dari satu anak, mereka dapat bermain bersama dan saling mengenal. Lainnya hal dengan bekerja kantoran seperti saya.

Suami sudah sering meminta saya untuk resign dan fokus mengurus rumah dan anak. Lagi pula dengan kegemaran saya menulis, saya masih bisa menghasilkan dengan menjadi web content writer atau bahkan menulis buku lalu diterbitkan. 

Saya hanya bisa mengingatkan akan tanggungan yang masih harus dilunasi, saat bapak dan ibu mertua sakit parah dan akhirnya meninggal dunia dengan meninggalkan hutang pengobatan yang cukup banyak. Bahkan kami tak sempat menabung. Setidaknya bila nanti tanggungan selesai, saya hanya tinggal berpikir mencari tambahan penghasilan untuk tabungan, bukan untuk menambal kekurangan biaya hidup.

Rejeki memang sudah ada yang mengatur, namun bila kita tidak berikhtiar, darimana kita akan mendapatkan semua yang kita butuhkan ?

Bekerja memang bukan kewajiban bagi seorang istri yang suaminya sebenarnya sudah memiliki pekerjaan yang cukup menghasilkan. Namun bukan berarti seorang istri tidak boleh bekerja di luar rumah.

Saya katakan, andaipun saya kelak nanti di rumah saja sebagai ibu rumah tangga dan memiliki usaha sendiri sambil mengasuh anak, bukankah itu sama saja dengan bekerja seperti yang saat ini tengah saya lakukan ?

Sebagai pekerja kantor, saya memiliki gaji dan jam kerja yang tetap yaitu mulai jam 7 pagi hingga jam 5 sore. Sedangkan bila saya memiliki usaha rumahan, jangan-jangan saya harus bekerja lebih lama menjawabi pertanyaan pelanggan dan melayani mereka hingga malam. 

Sampai saat ini suami masih berselisih paham tentang saya yang masih harus bekerja. Namun saya berhasil meyakinkan bahwa dengan managemen yang tepat saya masih bisa mengaturnya. Selepas jam kerja tentu seluruh waktu saya berikan untuk keluarga, kalaupun ada pekerjaan kantor yang harus saya kerjakan, bisa saya kerjakan malam hari saat anak dan suami sudah tidur atau pagi hari sebelum subuh. 

Untuk mengatasi dilema ini agar tak berkepanjangan maka saya dan suami membuat kesepakatan, bahwa saya akan berhenti bekerja setelah tanggungan lunas dan target hidup lainnya terpenuhi. 
Well, saya pun menyetujuinya. Saya pun membuktikan bahwa selain sebagai pekerja saya juga ibu rumah tangga yang tetap memperhatikan keluarga. 

No comments:

Post a Comment