Friday, April 21, 2017

#Day11, Cerpen : Keisha dan Rumah Pohon

Keisha pulang dengan wajah kusut, rambut kepangnya semrawut dan bajunya kotor. Nenek yang melihatnya mengerutkan dahi.

“Kenapa, Kei?”, tanyanya lembut. Mata Keisha yang berkaca menyembunyikan sesuatu.
“Aku hanya jatuh, Nek. Dikejar anjing dan kalkun”, kata Keisha.

Sebagai anak yatim piatu sejak kecil, Keisha memang hidup sederhana bersama nenek dan satu-satunya kakak laki-laki. Beruntunglah ayah dan ibu Keisha meninggalkan rumah yang cukup besar sehingga kamarnya bisa mereka sewakan kepada pekerja pendatang di kota mereka, dari cara itu mereka mendapatkan uang untuk biaya hidup dan sekolah Keisha dan kakaknya. Sesekali paman, adik ibu, memberikan uang jajan sekedarnya.

“Kamu masih lewat kampung itu lagi?”, tanya nenek. Keisha menganggukkan kepala. Nenek tahu Keisha sengaja kewat jalan kampung itu agar tak diejek dan diganggu teman-teman perempuan sekelasnya yang kebetulan bertetangga. Biasanya Keisha pulang bersama-sama mereka dan pergi bermain sepulang sekolah, namun sejak beberapa minggu ini, nenek memperhatikan Keisha selalu pulang sendiri.

Pernah Keisha pulang ke rumah dengan bentol-bentol di sekujur badan. Salah seorang dari mereka menaruh ulat bulu di punggungnya, entah bagaimana caranya hanya Keisha yang merasakan efeknya sementara mereka tidak. Gatal dan panas membuatnya tak berhenti menggaruk, sementara mereka tertawa terbahak-bahak.

Atau mereka memasukkan kecoa di bajunya, membuatnya menjerit-jerit dan berlari ke tempat tersembunyi untuk membuka pakaian dan membuang kecoa itu dari badannya. Keisha menangis dan gemetar ketakutan. Kejahatan kecil yang tak pernah terbayangkan bisa dilakukan oleh anak kelas 6 SD. Sejak saat itu Keisha selalu berusaha menjauhi mereka, termasuk berangkat dan pulang sekolah dengan jalan memutar. Masalahnya, mereka satu kelompok belajar dengannya sehingga harus bertemu saat ada pekerjaan sekolah, untungnya tidak terlalu sering dikerjakan di rumah dan tugas-tugas itu kebanyakan dikerjakan di sekolah.

Kadang-kadang, Keisha lebih suka mencari jalan pintas melewati makam atau kampung tempat anjing dan kalkun itu selalu bernafsu mengejarnya.
 “Kenapa tidak lewat jalan biasanya saja?”, Tanya nenek. Keisha hanya terdiam.

Aku lebih suka dikejar kalkun atau anjing. Aku tahu mereka sebenarnya tak bermaksud menyakitiku.

Pemilik anjing itu akan berteriak memanggil nama anjingnya dan biasanya menurut menjauhi Keisha. Laki-laki tua itu meminta maaf kepada Keisha. Sementara pemilik kalkun hanya tertawa-tawa saja melihat kalkun miliknya mengejar Keisha yang lari terbirit-birit menghindari patukan paruhnya.

Keisha lebih suka melewati jalan kampung itu daripada harus bertemu dengan gadis-gadis kecil sebayanya yang akan menjambak rambutnya, memaksanya datang ke rumah hanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka, atau disuruh-suruh seperti pembantu bahkan menyakitinya dengan cara yang tak pernah terbayangkan oleh Keisha. Yang lebih memedihkan hati, kata mereka Keisha layak mendapatkan perlakuan itu, Keisha tak layak memiliki ayah dan ibu.

Betapa menyedihkan. Ayah ibunya meninggal bukan karena kesalahannya. Pernah Keisha mendatangi makam ayah dan ibunya memohon maaf bila ia telah berbuat salah. Ingatan tentang ayah ibunya hanya sama-samar adanya, karena ayahnya meninggal ketika ia berumur 4 tahun dan setahun kemudian ibunya menyusul.

Kadang-kadang bila tak ingin membaca di atas genteng, dia membaca di makam kedua orang tuanya, seolah-olah mereka masih hidup di sampingnya.

Siang itu setelah Keisha mengganti pakaian sekolah, makan dan merapikan rambutnya,
“Nenek punya sesuatu untukmu”, tiba-tiba nenek telah duduk di bangku bambu sebelahnya sambil menyerahkan buku tulis berwarna merah.

“Apa ini, nek?”, Tanya Keisha.

“Buku harian almarhum ibumu, nenek menemukannya waktu membersihkan gudang tadi. Nenek sering melihat ibumu menulis sesuatu di situ. Sayang sekali nenek tidak pernah belajar membaca dan menulis, jadi tak tahu apa yang ibumu tulis. Sepertinya menarik”.

Keisha membawa buku itu naik ke atas genteng setelah memanjat pohon belimbing yang sebagian dahannya menjorok ke atap genteng. Di sana adalah tempat yang nyaman untuknya, seperti rumah kedua, membaca buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah atau persewaan buku dekat rumahnya.

Keisha jarang pergi bermain akhir-akhir ini. Besok adalah hari pembagian kelompok belajar yang baru, Keisha berharap dia bisa segera lepas dari kelompok lamanya. Teman-teman perempuan yang kerap menindasnya.

Lembar demi lembar Keisha buka, walau tak sepenuhnya paham dengan apa yang ibu tulis, Keisha merasa bahagia seolah – olah ibunya masih hidup dan bercerita kepadanya.
Keisha jadi sedikit mengerti perjuangan ibunya sepeninggal ayahnya. Demi menyelamatkan ekonomi keluarga, ibu yang tak punya pekerjaan rupanya menikah lagi. Samar-samar Keisha mengingat sosok laki-laki asing yang pernah tinggal di rumahnya. Atau ketika laki-laki itu mengajak ibu, Keisha dan kakaknya berlibur ke sebuah desa dengan sungai jernih di depan rumah.

Sejak saat itu Keisha memutuskan untuk menulis cerita-cerita yang dialaminya sepanjang hari. Dengan menabung uang saku yang diberikan nenek kepadanya, beberapa hari kemudian dia dapat membeli sebuah buku baru berwarna merah jambu dengan sampul bergambar bunga dan kupu-kupu.

Hari ini akan kumulai cerita tentangku sendiri..gumamnya.

Siang itu Keisha sedang duduk di atas genteng, hanya beberapa meter darinya seekor burung pipit kecil tengah menikmati remah roti yang sengaja ia taburkan.

Tuhan adalah temanku kata Keisha. Dia bisa menjelma apa saja, bahkan pelangi yang lengkungnya adalah senyum atau burung pipit mungil yang sedang menemaniku membaca  diatas pohon belimbing setiap siang. Teman sejati dalam hening, siang itu.

Aku akan menjadi lebih kuat dari anak-anak perempuan itu. Aku memang tak akan pernah membalas perbuatan mereka, tapi aku belajar untuk menjadi kuat dan tegar. Kalau aku membalas, aku akan menjadi sama jahatnya seperti mereka. Aku ingin mereka berhenti menyakitiku, karena itu aku harus kuat.

Keesokan harinya, Keisha berlari lebih kencang ketika anak-anak perempuan itu mengejarnya sambil membawa sekantung kecoa. Karena terlalu memperhatikan Keisha, Sheila, anak perempuan yang membawa sekantung kecoa itu tak melihat ada batu di depannya. Akibatnya dia tersandung dan jatuh. Malangnya, sekantung kecoa itu pun terlepas dan berkeliaran di sekitar tempat jatuh Sheila. Suara jerit gadis kecil malang itu terdengar, membuat Keisha berhenti berlari dan menoleh ke belakang. Seekor kecoa hinggap di rambut Sheila, yang lain beterbangan di sekitar Mey, dan Andin yang berada di belakang Sheila. Mereka bermaksud menolong Sheila ketika kecoa itu berhamburan keluar dari kantung plastik.

Detik itu juga Keisha teringat kata-kata neneknya, “Tuhan Tahu tapi menunggu”. Rupanya inilah saatnya berbalik. Mereka yang telah menyakitinya telah menerima pembalasan dari Nya.

Walau mereka masih belum berhenti juga berusaha menyakitinya, tapi Keisha kini lebih kuat dan berani melakukan perlawanan.

No comments:

Post a Comment