Monday, April 24, 2017

#Day14, Menjadi Kartini di Era Digital


Saya membayangkan apalah jadinya bila seorang Kartini dilahirkan pada abad 21 dan berada di era digital?

Apakah ia akan menulis dan memposting surat-suratnya yang telah dibukukan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang? Atau menjadi seorang blogger yang gagasan dan pemikiran-pemikirannya akan dibaca oleh banyak orang ?

Bila dulu Kartini mengetahui kondisi dan peradaban di Eropa melalui buku, majalah, koran berbahasa Belanda dan dari kiriman surat para sahabatnya yang tinggal di sana, bisa jadi di era digital ini Kartini akan lebih suka browing internet, googling atau berkirim email. Bisa jadi kita akan menemukan catatannya dalam note Facebook atau cuitan di Twitter. Gagasan dan opininya yang cerdas mampu mengubah pandangan dunia.

Masa pingitan yang didapatnya sejak usia 12 tahun bisa jadi tak lagi menjadi hal yang terlalu mengkhawatirkan karena dengan membaca Kartini tetap dapat menjelajah dunia. Konon dari pergaulannya dengan para sahabat di Belanda, Kartini mulai membuka pemikiran dan wawasannya, bahwa kedudukan wanita pribumi sangat tertinggal jauh bila dibandingkan dengan perempuan Eropa.

Kita mungkin hanya mengetahui Kartini sebagai salah satu tokoh emansipasi Indonesia, namun bisa jadi tak banyak tahu tentang kehidupannya, tentang bagaimana ia memperjuangkan hak kesetaraan untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Tentang pemikirannya yang sempat keliru karena terlalu memuja peradaban Eropa  dan membenci adat istiadat bangsanya sendiri?.

Namun di berbagai literatur akhirnya ditemukan, bahwa Kartini bukan sekedar mengagungkan emansipasi yang membabi buta, terbukti bahwa ia tetap menikah dan memiliki anak serta memilih untuk menjadi guru mengajarkan baca tulis dan ketrampilan kepada teman-teman wanita. Kartini tetap menjadi muslimah yang memberikan gagasan kepada seorang pemuka agama untuk menuliskan terjemahan Al Quran dalam bahasa Jawa sehingga agama yang dianutnya sejak kecil ini dapat lebih dipahami oleh pemeluknya bukan hanya karena agama keturunan dan bawaan sejak lahir dari nenek moyangnya.

Kartini tidak hanya melahirkan budaya membaca dan belajar kepada kaumnya saat itu namun juga tradisi menulis yang dimulai dari penerjemahan kitab suci Al quran dan tulisan yang berisi pendapat-pendapatnya yang dibukukan dalam sebuah karya kumpulan surat yang dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pembacanya.

Kartini memang tidak berjuang mengangkat senjata seperti pahlawan wanita lain, namun keberaniannya mendobrak tradisi lama dan perjuangannya agar wanita mendapat kesempatan belajar yang sama seperti laki-laki yang membuatnya dianggap sebagai pahlawan dan istimewa daripada yang lain. Hal ini membuktikan kepada dunia, bahwa perjuangan tidak melulu harus dilakukan melalui kekuatan fisik, namun melalui kekuatan diplomasi dan kecerdasan dari seorang wanita lembut yang kerap dianggap makhluk yang lemah yang ternyata dapat mengubah dunia. Kartini tetaplah seorang ibu rumah tangga yang memilih mengajarkan apa yang ia bisa agar perempuan lain juga dapat membaca dan menulis sepertinya.

Kartini di era digital abad 21 ini, diharapkan menjadi sosok yang cerdas, bijaksana dan mampu berkarya serta melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan di sekitarnya.
Melalui postingannya di social media, dia dapat menyebarkan pemikirannya yang bermanfaat agar dapat dibaca banyak orang tanpa harus meninggalkan tempatnya, tetap menjadi ibu rumah tangga dan melakukan kewajibannya sebagai istri dan ibu.

Menjadi seorang Kartini di era digital bisa menjadi hal yang sangat menyenangkan ketika opini dan pendapat kita diberikan ruang tanpa harus dianggap tabu lagi. Kita boleh berpendapat tentang sesuatu hal, berdiskusi di ruang public bahkan menjadi pemimpin dalam hal tertentu.

Selama ini tak sedikit perempuan yang pemikirannya dibungkam karena egoisme kaum laki-laki. Dianggapnya karena laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan maka semua tindakan dan pemikiran kaum laki-laki dianggap benar dan kalaupun ada pemikiran dari sebagian perempuan benar hal tersebut dianggap berasal dari pengetahuan si laki-laki. Padahal ada pepatah yang mengatakan “Di balik kesuksesan laki-laki, terdapat doa dan dukungan dari perempuannya”, entah itu dari ibu atau istri.

Kalau bukan perempuan yang membenahi rumah, bagaimana seorang laki-laki dapat giat dan semangat bekerja. Kalau bukan perempuan yang memberikan masukan, seorang laki-laki bisa kehilangan fokus dan arah dalam mencapai cita-citanya.


Perempuan masa kini dituntut untuk menjadi perempuan yang cerdas, tidak hanya cerdas mengurus rumah namun juga mengikuti perkembangan teknologi dan zaman namun tetap sesuai kodratnya.

No comments:

Post a Comment