Saya membayangkan apalah jadinya bila seorang Kartini
dilahirkan pada abad 21 dan berada di era digital?
Apakah
ia akan menulis dan memposting surat-suratnya yang telah dibukukan dalam Habis
Gelap Terbitlah Terang? Atau menjadi seorang blogger yang gagasan dan pemikiran-pemikirannya
akan dibaca oleh banyak orang ?
Bila
dulu Kartini mengetahui kondisi dan peradaban di Eropa melalui buku, majalah,
koran berbahasa Belanda dan dari kiriman surat para sahabatnya yang tinggal di
sana, bisa jadi di era digital ini Kartini akan lebih suka browing internet,
googling atau berkirim email. Bisa jadi kita akan menemukan catatannya dalam
note Facebook atau cuitan di Twitter. Gagasan dan opininya yang cerdas mampu
mengubah pandangan dunia.
Masa
pingitan yang didapatnya sejak usia 12 tahun bisa jadi tak lagi menjadi hal
yang terlalu mengkhawatirkan karena dengan membaca Kartini tetap dapat
menjelajah dunia. Konon dari pergaulannya dengan para sahabat di Belanda,
Kartini mulai membuka pemikiran dan wawasannya, bahwa kedudukan wanita pribumi
sangat tertinggal jauh bila dibandingkan dengan perempuan Eropa.
Kita
mungkin hanya mengetahui Kartini sebagai salah satu tokoh emansipasi Indonesia,
namun bisa jadi tak banyak tahu tentang kehidupannya, tentang bagaimana ia
memperjuangkan hak kesetaraan untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan
laki-laki. Tentang pemikirannya yang sempat keliru karena terlalu memuja
peradaban Eropa dan membenci adat
istiadat bangsanya sendiri?.
Namun di berbagai literatur akhirnya ditemukan,
bahwa Kartini bukan sekedar mengagungkan emansipasi yang membabi buta, terbukti
bahwa ia tetap menikah dan memiliki anak serta memilih untuk menjadi guru
mengajarkan baca tulis dan ketrampilan kepada teman-teman wanita. Kartini tetap
menjadi muslimah yang memberikan gagasan kepada seorang pemuka agama untuk
menuliskan terjemahan Al Quran dalam bahasa Jawa sehingga agama yang dianutnya
sejak kecil ini dapat lebih dipahami oleh pemeluknya bukan hanya karena agama
keturunan dan bawaan sejak lahir dari nenek moyangnya.
Kartini
tidak hanya melahirkan budaya membaca dan belajar kepada kaumnya saat itu namun
juga tradisi menulis yang dimulai dari penerjemahan kitab suci Al quran dan
tulisan yang berisi pendapat-pendapatnya yang dibukukan dalam sebuah karya
kumpulan surat yang dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pembacanya.
Kartini
memang tidak berjuang mengangkat senjata seperti pahlawan wanita lain, namun
keberaniannya mendobrak tradisi lama dan perjuangannya agar wanita mendapat
kesempatan belajar yang sama seperti laki-laki yang membuatnya dianggap sebagai
pahlawan dan istimewa daripada yang lain. Hal ini membuktikan kepada dunia,
bahwa perjuangan tidak melulu harus dilakukan melalui kekuatan fisik, namun
melalui kekuatan diplomasi dan kecerdasan dari seorang wanita lembut yang kerap
dianggap makhluk yang lemah yang ternyata dapat mengubah dunia. Kartini
tetaplah seorang ibu rumah tangga yang memilih mengajarkan apa yang ia bisa
agar perempuan lain juga dapat membaca dan menulis sepertinya.
Kartini
di era digital abad 21 ini, diharapkan menjadi sosok yang cerdas, bijaksana dan
mampu berkarya serta melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan di
sekitarnya.
Melalui
postingannya di social media, dia dapat menyebarkan pemikirannya yang
bermanfaat agar dapat dibaca banyak orang tanpa harus meninggalkan tempatnya,
tetap menjadi ibu rumah tangga dan melakukan kewajibannya sebagai istri dan
ibu.
Menjadi
seorang Kartini di era digital bisa menjadi hal yang sangat menyenangkan ketika
opini dan pendapat kita diberikan ruang tanpa harus dianggap tabu lagi. Kita
boleh berpendapat tentang sesuatu hal, berdiskusi di ruang public bahkan
menjadi pemimpin dalam hal tertentu.
Selama
ini tak sedikit perempuan yang pemikirannya dibungkam karena egoisme kaum
laki-laki. Dianggapnya karena laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan maka
semua tindakan dan pemikiran kaum laki-laki dianggap benar dan kalaupun ada
pemikiran dari sebagian perempuan benar hal tersebut dianggap berasal dari
pengetahuan si laki-laki. Padahal ada pepatah yang mengatakan “Di balik
kesuksesan laki-laki, terdapat doa dan dukungan dari perempuannya”, entah itu
dari ibu atau istri.
Kalau
bukan perempuan yang membenahi rumah, bagaimana seorang laki-laki dapat giat
dan semangat bekerja. Kalau bukan perempuan yang memberikan masukan, seorang
laki-laki bisa kehilangan fokus dan arah dalam mencapai cita-citanya.
Perempuan
masa kini dituntut untuk menjadi perempuan yang cerdas, tidak hanya cerdas
mengurus rumah namun juga mengikuti perkembangan teknologi dan zaman namun
tetap sesuai kodratnya.
No comments:
Post a Comment